“Gawat, Cit. Ini gawat.”
Tanpa sapa, kakaknya memberondongnya dengan berita yang semakin membuat Citra gusar.
“Kak?”
“Benar-benar gawat ini, Cit. Kacau.”
Kak Ratih tidak dapat mengendalikan kecemasannya. Di sisi lain, Citra sedang bekerja. Tidak mungkin ia menanggapi Kak Ratih dengan ledakan emosi pula. Sebagai jalan keluar, ia berbisik, “Sebentar,” kepada kakaknya itu.
Tangga darurat menjadi tujuan Citra. Akan tetapi, ruangan sempit itu justru dipakai oleh karyawan perusahaan lain untuk merokok. Citra yang mencari tempat sepi tentu tidak bisa menggunakannya. Ia pun beralih ke toilet wanita saja.
Sepanjang perjalanan saja, ia sudah merasa bersalah karena menerima panggilan pribadi pada jam kerja. Ini salahnya karena mengeluarkan ponsel untuk meminta tolong bagian keuangan menerima faktur tagihan Fiber Batavia.
Citra yang tidak menyukai ketidakteraturan mendecakkan lidahnya. Inilah imbas jadwalnya yang bergeser sejak makan siang tadi.
“Baik, coba diulang, Kak?”
“Katering menelepon, Cit,” lapor Kak Ratih.
Citra mengangguk-angguk. Kakak keduanya itu memang bertugas menangani urusan konsumsi untuk pesta pernikahannya nanti.
“Mereka nggak bisa menyiapkan menu ikan tenggiri. Vendor mereka kehabisan produk.”
Decakan lidah Citra bertambah keras. “Memangnya nggak bisa dari tempat lain?”
“Nah, itu dia masalahnya. Mereka nggak bisa menjamin barangnya bagus kalau dari tempat lain.”
Citra memijat dahinya yang mendadak terasa panas. “Kalau nggak ada, jumlah menunya berkurang, dong. Kenapa ada saja, sih, masalahnya? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin dipastikan barangnya ada atau nggak? Kenapa sudah dekat harinya, malah baru kasih tahu kalau kurang?” cerocos Citra yang kesabarannya rupanya telah menipis.