Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #4

4. Bunga Pelipur Lara

Sudah berulang kali, Citra mencoba menelepon kantor Fiber Batavia, namun tidak kunjung diangkat. Padahal, jam kerja belum berakhir. Belum jam lima, sesuai peringatan dari Tika tadi. Ah, sudahlah. Ia menyerah.

Ia harus memberitahukan kegagalannya itu kepada atasannya. Akan tetapi, belum sempat ia berdiri untuk mendatangi ruang kerja Ibu Arinda, telepon di mejanya berdering.

“Citra’s speaking. How may I help you?

“Halo, Citra. Ini dengan Vikri,” kata suara di seberang sana.

Sebenarnya, tanpa penelepon menyebutkan identitasnya, Citra sudah mengetahui siapa pemilik suara familiar tersebut. Dua bulan terakhir ini, pria itu sering menelepon bosnya, Ibu Arinda. Tidak hanya itu, beberapa kali ia perhatikan, suasana hati Ibu Arinda akan berubah menjadi lebih menyenangkan sehabis bercakap-cakap dengan penelepon itu. Citra ikut senyum-senyum sendiri ketika Ibu Arinda mendadak bersenandung setelah mengakhiri pembicaraan dengan pria tersebut. Meskipun atasannya itu tidak pernah mengatakannya, Citra yakin kalau hubungan Pak Vikri dan Ibu Arinda lebih dari sekadar teman.

“Citra, apa kabar?” tanya Pak Vikri.

Gadis itu diam sejenak. Selama ini, setiap Pak Vikri menelepon ia langsung menghubungkan panggilan itu ke ruang kerja Ibu Arinda. Tidak pernah sekalipun, Pak Vikri berbasa-basi dengannya, sampai saat ini.

“Eh, baik-baik saja,” jawabnya canggung.

Ada desah panjang dari ujung telepon. “Katanya –

“Pak Vikri mau berbicara dengan Ibu Arinda?”

Kebetulan yang manis, pikir Citra dalam hati. Ia berharap setelah Ibu Arinda berbincang-bincang dengan Pak Vikri, atasannya itu lebih relaks. Jadi, ketika ia mengabarkan tentang Fiber Batavia nanti, Citra tidak akan terkena amukan dari bosnya itu.

“Bukan Pak, Citra. Vikri saja,” suruh Vikri.

Setiap Pak Vikri menelepon ke kantor tempatnya bekerja, Citra selalu diminta memanggil pria itu dengan sebutan nama saja. Akan tetapi, lidahnya akan terasa kelu setiap akan melafalkan Vikri. Bahunya bergidik pertanda ia langsung merasa geli sendiri sewaktu mencoba suruhan pria itu.

Bukan apa-apa, Pak Vikri adalah teman dekat Ibu Arinda. Bahkan, mungkin lebih dari itu status hubungan keduanya. Tidak sopan rasanya kalau ia memanggil laki-laki itu tanpa embel-embel “Pak”. Masa, ia menyematkan “Ibu” kepada atasannya tapi tidak melakukan hal yang sama dengan Pak Vikri?

“Baik, Pak Vikri. Sebentar saya sambungkan dengan Ibu Arinda,” lanjut Citra.

Terdengar helaan napas dari seberang telepon, mungkin karena Citra mengabaikan permintaannya.

Lihat selengkapnya