Karangan bunga dari Bandu hampir menutupi seluruh wajahnya. Oleh karena itu, Citra memutuskan menggunakan jasa taksi daring untuk mengantarkannya pulang. Ia tidak mau kehadiran buket bunga di berbagai transportasi umum yang ia gunakan membuatnya menarik perhatian banyak orang. Lagi pula, ia ingin menjaga bentuk bunga hadiah dari Bandu itu agar tetap indah.
Karangan bunga dari Bandu itu memiliki paduan bunga yang cantik dan harum. Tidak heran karena ada kuntum-kuntum bunga Melati yang bercampur dengan Mawar serta bunga Matahari. Penuh warna. Dalam hati Citra berharap kehidupan pernikahannya dengan Bandu nanti hanya akan dihiasi warna-warna ceria laksana karangan bunga tersebut.
Citra menengok jalanan dari jendela mobil yang ia tumpangi. Berhubung ia telah keluar dari kantor sebelum jam kerja berakhir, situasi jalan raya tidak terlalu ramai. Namun, diam saja di jok belakang mobil membuatnya bosan. Pikirannya berkecamuk atas tugas-tugas apa yang harus ia lakukan mulai detik itu juga.
Ia sudah menjelaskan situasi yang ia hadapi kepada karyawan Kebaya by Rayya lewat telepon sewaktu di kantor tadi. Tampaknya, toko itu sudah terbiasa menanggapi kepanikan para calon pengantin karena mereka justru berusaha menenangkan Citra. Senyum gadis itu kembali tercipta. Kecemasannya terbukti tidak masuk akal.
Oh ya, mumpung ia ingat, masih ada urusan katering yang perlu ia selesaikan. Ah, tidak. Seharusnya bukan katering yang menjadi prioritasnya saat itu, melainkan sosok lain. Citra meraih telepon genggamnya dan menekan sederet angka.
“Ya, Citra?” sapa pemilik nomor yang ia hubungi itu. “Masih di kantor?”
“Sudah menuju rumah.”
“Lho, kerjaannya sudah beres? Kamu baik-baik saja, kan?
Betapa Kak Ratih mengkhawatirkan kondisinya. Citra jadi malu sendiri karena sudah sempat panik dan marah-marah kepada kakaknya itu tadi.
“Iya. Bos aku menyuruh aku cepat pulang hari ini.” Citra terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Aku minta maaf, ya, Kak.”
“Nggak apa-apa. Kakak ngerti, kok, justru aneh kalau calon pengantin nggak ada stres-nya sewaktu menyiapkan pesta pernikahan,” kata Kak Ratih dan mengakhirinya dengan tawa kecil.
“Makasih, Kak,” balas Citra dengan tulus. “Jadi, bagaimana menurut Kakak? Apa diganti saja menunya?”
Sejujurnya, Citra sudah tidak peduli meskipun di pesta pernikahannya nanti hanya tersedia paket nasi ayam goreng dari restoran cepat saji. Biarkan saja para tamu itu bergunjing dan mengkritisinya.
Citra melirik buket bunga dari Bandu. Hadiah dari tunangannya itu mampu menenangkannya hari ini. Oleh karena itu ia yakin bahwa selama Bandu dan dirinya baik-baik saja, apapun yang terjadi di luar itu, tidak perlu dipusingkan.
“Ya, itu boleh saja. Tapi, Kakak tadi berdiskusi dengan vendor. Mereka mendapatkan jenis ikan pengganti yang bisa digunakan untuk menu yang sama.”
“Rasanya?” tanya Citra.
“Mereka, sih, menjanjikan tetap enak. Mereka juga akan menambah porsi sekitar 30 persen sebagai kompensasi.”