Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #8

8. Namanya Bandu

“Eh?” Hanya celetukan itu yang menjadi balasan Citra.

Laki-laki itu membuka topi petani yang menjadi seragam wajib para mahasiswa baru dan mengulurkan tangan. “Namaku Bandu,” katanya. “Kamu?”

Baru kali ini ia dapat mengecek rambut Bandu yang dipotong pendek menyerupai anggota militer. Maklum, statusnya sebagai mahasiswa baru mengharamkannya memiliki rambut yang panjang.

“Waduh, dicuekin, nih,” ucap Bandu tiba-tiba.

Wajah Citra semakin membara. Ia terlalu lama memeriksa penampilan laki-laki itu sehingga melupakan bahwasanya ia berutang nama. “Citra,” jawabnya kemudian dengan menjabat tangan Bandu erat-erat.

“Aku ambil Arkeologi, kamu masuk jurusan apa?” tanya Bandu.

Citra yang sebelumnya tidak pernah berinteraksi dengan lawan jenis berusaha keras menyembunyikan kegugupannya. Triknya adalah dengan menjawab dengan singkat, “Ilmu Perpustakaan.”

Bandu bersiul. “Masih ada peminatnya, ya? Memangnya akan terpakai ilmunya? Apalagi, sekarang sudah zaman digital.”

Citra ingin menjelaskan panjang lebar kalau Ilmu Perpustakaan bukan sekadar menyusun buku-buku yang ada di perpustakaan. Lagi pula, kalau digital yang dimaksud Bandu adalah berarti tidak akan ada lagi yang membaca buku, itu adalah kekeliruan. Pasalnya, keinginan membaca itu akan selalu ada, hanya mediumnya saja yang berubah mengikuti perkembangan zaman. Ingat saja, sebelum kertas, media yang digunakan ada tanah liat, bambu, bahkan batu. Jadi, tidak masalah mau era digital atau tidak, seseorang yang ahli dalam bidang tersebut, tetap dapat mengaplikasikan ilmunya.

Sayangnya, ia tidak memiliki keberanian untuk berbicara panjang seperti itu, sehingga Citra hanya menyeletukkan kata, “Lalu, arkeologi?”

Bandu tertawa. “Jawaban yang cerdas.”

Pipi Citra bersemu merah mendengar pujian itu. Pada saat itu, ia sudah tidak dapat memperkirakan segosong apa penampakan wajahnya. Sudahlah, pikirnya pasrah. Ia masih bisa menyalahkan panas matahari yang menyengat untuk kondisinya itu.

“Sebenarnya, untuk Indonesia yang dikenal sebagai salah satu pusat peradaban dunia, profesi arkeolog masih sangat diperlukan. Ada banyak situs-situs purbakala yang masih berserakan dan perlu diselidiki. Sayangnya, tenaga arkeolog masih sedikit. Sering, kan, kita dengar warga menemukan puing-puing bukti sejarah, tapi mengabaikan atau menjualnya begitu saja. Di tangan arkeolog, peninggalan sejarah itu bisa menjadi bahan penelitian yang bernilai tinggi.”

Citra terpaku. Ia terpesona dengan cara laki-laki itu menjelaskan apa yang menjadi minatnya. Alasannya memilih jurusan Ilmu Perpustakaan tidak sebanding dengan cerita Bandu yang menggebu-gebu itu.

“Mungkin, aku harus mencoba salah satu kelas Ilmu Perpustakaan untuk mengetahui apa yang seru dari jurusan itu,” kata Bandu.

Citra mengangguk-angguk. Jika ia terbiasa berkomunikasi dengan lawan jenis, ia akan menangkap kalau itu adalah kode kalau pria itu ingin bertemu dengannya lagi. Akan tetapi, Citra yang sedang duduk di kursi beton di bawah pohon itu tidak tahu banyak, sehingga ia hanya menanggapinya dengan, “Memangnya, boleh?”

“Tergantung kamu, sih, mengizinkan apa nggak?”

Lihat selengkapnya