“Enak saja si Bandu itu. Kita harus kebiri dia!”
“Sabar. Jangan main hakim sendiri.”
“Bagaimana bisa sabar? Pernikahan sudah dijadwalkan tiga hari lagi.”
“Iya, Kak. Dia sudah menghina keluarga kita. Masa adik kita mau dijadikan istri kedua?”
“Mau ditaruh di mana muka kita, Kak?”
Kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh ketiga kakaknya itu silih berganti memenuhi ruangan. Inilah tidak enaknya dibesarkan dalam keluarga yang mengharus setiap anggota keluarganya menikmati makan malam bersama-sama. Meskipun suasana hatinya sedang amburadul, Citra tetap harus mendengar perbincangan mengenai dirinya di depan mata.
Selain Bapak, Ibu, Kak Wulan, dan adiknya Bimo yang memang masih menetap di rumah itu, rupanya Kak Ratih dan Kak Indri juga terburu-buru datang ke rumah mereka setelah mendengar kejadian yang menimpanya sore tadi. Padahal, Kak Ratih dan Kak Indri sudah menikah dan memiliki tempat tinggalnya masing-masing.
“Siapa nama perempuan itu?” tanya Kak Ratih. Makanan di piring yang ada di depannya sama sekali tidak disentuh.
“Reine.” Kak Wulan yang menjawab.
Citra mendesah, tapi lalu tersadar untuk menyembunyikannya.
“Tai emang si Bandu itu!”
“Indriii,” tegur Ibu lembut.
Dari ketiga kakaknya; Wulan, Ratih, dan Indri, memang nama yang terakhirlah yang terkenal paling judes di antara mereka.
“Apalagi coba sebutan yang tepat?” protes Kak Indri.
“Congek babi,” celetuk Kak Ratih.
Citra mendongakkan kepala dan menatap kakak keduanya itu. Ini adalah perempuan yang sama yang tadi sore sungguh bijak dalam memberikan nasihat pernikahan kepadanya. Tatapan mereka bertabrakan yang membuat Citra segera menundukkan kepala.
“Ratiiih!” tegur Ibu.
“Kok Ibu masih bisa tenang-tenang aja, sih?” balas Kak Ratih.
“Iya, harusnya kita sudah serbu itu rumahnya si Bandu. Kita lempar bom molotov ke rumahnya.”