“Nggak nyangka tadi Kakak bisa tenang banget menghadapi perempuan itu,” kata laki-laki itu membuka percakapan.
Citra mengedikkan bahu. “Mau bagaimana lagi?” ujarnya tanpa menghentikan aktivitasnya membilas piring.
Bimo mengambil piring yang baru saja ia bilas tersebut dan mengeringkannya sampai mengilap. “Tapi, kenapa Kakak diam saja?”
“Maksudnya?”
“Jangan pura-pura nggak tahu, ah. Sesorean tadi, aku menguping dari ruang kerja Bapak,” jelas Bimo. “Harusnya Kakak omelin perempuan itu.”
Citra berusaha memusatkan perhatiannya dengan mendengarkan aliran air keran saja, ketimbang menanggapi adik laki-lakinya yang lebih muda lima tahun darinya itu.
“Nggak adil rasanya dia datang ke sini dan menghancurkan masa depan Kakak seperti itu.”
Citra memahami apa yang melatarbelakangi pemikiran Bimo. Tentu saja, adiknya itu bias berpendapat karena status Citra sebagai kakak. Walau bagaimanapun, Bimo turut sakit hati karena fakta yang dibeberkan oleh Reine kepada keluarganya itu.
Akan tetapi, kalau adiknya mau menempatkan diri pada posisi tamunya tadi, bisa jadi Bimo akan menganggap justru Citralah yang merusak masa depan Reine dan bayinya.
“Lagian, dari mana coba, dia bisa tahu-tahunya datang ke sini? Jangan-jangan, dari Bandu,” ujarnya penuh curiga. “Jangan-jangan, ini mereka berdua berkomplot untuk mempermainkan keluarga kita.”
“Reine mendatangi kampus karena yang dia tahu tempat kuliah Bandu dulu. Rupanya, ada undangan pernikahan kami di papan buletin jurusannya.”
“Terus, ujug-ujug sampai ke rumah kita, begitu?” tanya Bimo penuh selidik.
“Ada nama Kakak, kan? Ya, kemudian dia cari.”
“Nggak percaya, ah. Ini alamat rumah, lho.”
Sikap adiknya yang seakan-akan menjadi pembela nomor satunya itu akan terasa manis jika bukan dalam situasi menegangkan yang mempertaruhkan nasib pernikahannya dengan Bandu.
“Ya, kan, ada nama lengkap Kakak di situ. Rupanya, profil Kakak ada di website kantor. Dia menelepon kantor dan pura-pura mau mengantarkan kebaya. Tapi, kakak sudah pulang,” jelas Citra supaya adiknya itu berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
“Terus, kantor memberikan alamat rumah Kakak?”
“Iya. Mungkin mereka nggak mau pesta pernikahan Kakak berantakan.”
Suara Citra getir sewaktu mengucapkan pesta pernikahan. Piring terakhir sudah ia bilas. Namun, Citra masih berlama-lama membiarkan air keran membasahi lengannya. Diamnya Bimo yang masih mencerna takdir aneh yang menimpa Citra dan dinginnya air berhasil menyuntikkan kesegaran pada suasana hatinya yang berantakan.
“Tetap saja….”