Sudah beberapa malam ini tidurnya tidak nyenyak. Padahal, tubuhnya sudah merasa lelah dan matanya pun sudah mengantuk. Namun, setiap Citra mencoba memejamkan indra penglihatannya itu, dadanya terasa seperti ditusuk-tusuk duri.
Sejak pembatalan pernikahannya, belum pernah Citra menangis tersedu-sedu. Bukannya ia tidak merasa sedih. Hanya, matanya yang berair seakan-akan dipersenjatai dengan bendungan tahan baja yang ampuh menahan serangan cairan kesedihan itu.
Tidak cukup beristirahat, anehnya membuat telinga Citra lebih awas dengan kondisi sekitar. Kemarin malam, ia mampu mendengar lolongan jangkrik yang biasanya tidak pernah ia pedulikan. Ya, jangkrik melolong. Jangan tanyakan apakah ia berlebihan atau tidak. Akan tetapi, begitulah ia menerjemahkan ributnya bunyi serangga itu.
Begitu pula pagi ini, bunyi detik dari jam dinding terasa penuh di telinganya. Biasanya, suara itu terdengar lembut dan jauh dari kata mengganggu. Namun, hari ini detik-detik itu seolah-olah menyuarakan ejekan kepada Citra yang masih bergelung di kasur.
Citra sudah kehabisan akal akan bagaimana ia mengabaikan keributan itu. Oleh karenanya, ia membuka setengah mata dan langsung disambut cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela jendela. Sontak, ia terpejam kembali karena sinarnya cukup menyengat. Sinar itu menghangatkan kamar yang pendingin udaranya sudah mati sejam yang lalu.
Tidak tahan dengan kondisi itu, Citra membuka selimut dan menegakkan badan. Sayang, pandangan matanya langsung terhunjam kepada kalender meja. Pada kolom tanggal 27 November, tertera simbol hati yang melingkari hari tersebut serta tulisan ‘The Day’. Ya, hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi Citra.
Dulu, penanda itu dibubuhkan oleh Citra dengan perasaan gembira. Namun, sekarang Citra merasa mual melihatnya. Ia merasa tulisan itu menertawakannya dengan puas karena rencana yang ia nanti-nantikan itu tidak terlaksana hari ini. Citra menggertakkan gigi. Ia meraih kalender itu dan merobek-robeknya, lalu membuangnya sembarangan. Mulutnya terbuka lebar dan berteriak sekencang yang ia bayangkan. Akan tetapi, tanpa suara.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu kamarnya. “Citra.”
Suara itu adalah milik Kak Wulan. Citra bergeser ke depan cermin. Kondisinya sungguh memprihatinkan. Ia tidak mau menemukan mata penuh kasihan dari kakak pertamanya itu ketika melihatnya nanti. Oleh karena itu, ia mengelap muka dengan lengan bajunya. Ah, tidak ada yang berubah. Ia mengambil bedak tabur dan menepuk-nepuknya ke pipi. Citra berharap semburat merah muncul di sana dan menyingkirkan pucat dari wajahnya.
“Citra!” panggil Kak Wulan untuk yang kedua kali.
Citra membuka pintu dan membiarkan kakak pertamanya itu masuk.
Kak Wulan sibuk meneliti kamarnya.
“Kenapa, Kak?” tanya Citra.