Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #13

13. Berharap Madu

Citra menggelengkan kepala. Perceraian kakaknya itu terjadi sewaktu anak bungsu Kak Wulan baru berusia enam bulan. Siapa yang salah? Siapa yang menggugat? Tidak pernah secara gamblang ia ketahui. Waktu itu, kakaknya hanya menegaskan itu adalah keinginannya dan keputusannya sudah bulat.

“Ah, kenapa Kakak bercerai sudah tidak penting lagi… karena alasan sebenarnya adalah Kakak sudah mengambil keputusan yang salah sewaktu menikah dengannya.”

Citra tidak pernah tahu tentang ini. Dahulu, ia berpikir kalau semua manusia pasti mengalami fase lahir, menikah, dan melahirkan generasi baru. Jadi, ketika Kak Wulan meminta izin dari orang tua mereka untuk menikah, ya karena itu memang sudah waktunya bagi kakaknya itu untuk membentuk keluarga baru.

“Aku yang memaksa untuk segera menikah. Gara-garanya, aku nggak mau dilangkahi sama Ratih. Padahal, aku belum terlalu mengenal suamiku itu.”

Citra sendiri tidak mengerti mengapa ada aturan yang menentukan urutan pernikahan para saudara wajib mengikuti urutan kelahiran mereka? Kak Wulan juga menganggap bahwasanya sebagai anak pertama, sudah seharusnya ia yang pertama menikah di keluarga itu.

“Aku terlalu keras kepala supaya Bapak dan Ibu menuruti keinginanku.”

Bagian terakhir yang disebutkan Kak Wulan itu sudah pernah didengar Citra sebelumnya. Ia menguping pembicaraan kakak pertamanya itu dengan Bapak dan Ibu. Kedua orang tua mereka berulang kali mengucapkan keragu-raguan atas rencana Kak Wulan. Salah satu keberatan mereka tentu saja karena menganggap Kak Wulan belum paham karakter sejati calon suaminya.

“Coba, ya, waktu itu aku ngikut kata Bapak dan Ibu saja. Aku baru tahu sifat asli suamiku setelah menikah.”

“Kak Wulan menyesal?” tanya Citra karena benar-benar ingin tahu.

Kak Wulan menyingkirkan rambut yang jatuh ke kening Citra dan menutupi matanya. “Kalau menyesal atas apa yang telah terjadi, sih, nggak, ya. Toh, dari pernikahan itu, Kak Wulan jadi punya anak-anak yang lucu,” jawab kakaknya sambil tersenyum. Mungkin Kak Wulan teringat pada tingkah lalu keponakan-keponakan Citra yang memang menggemaskan itu.

Setelah berhenti sejenak, Kak Wulan kembali melanjutkan, “Kak Wulan cuma menyayangkan menikah karena alasan yang salah. Kayak anak kecil banget minta dinikahi cuma karena nggak mau keduluan sama adik sendiri. Dan, motivasi itu ternyata nggak cukup kuat untuk menjadi fondasi dalam sebuah kehidupan pernikahan. Aku harusnya bersabar, mengenalnya lebih lama, sampai akhirnya aku paham bahwa kami sudah memiliki pilar yang kuat untuk membentuk sebuah keluarga.”

“Aku dan Bandu sudah saling mengenal lebih dari tujuh tahun,” protes Citra sewaktu mendengar kakaknya itu menyinggung perkara waktu.

“Kata kuncinya adalah fondasi yang kuat. Kak Wulan nggak tahu apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah. Cuma, menurut aku, ya… menikah karena sudah terlalu lama pacaran juga nggak bisa jadi dasar yang kuat. Mungkin Bandu juga seperti itu. Kamu pernah tanya ke dia, nggak? Kenapa dia mau menikah?”

Citra menggelengkan kepalanya karena ia benar-benar tidak tahu. Suatu hari, Bandu tiba-tiba melamarnya. Citra sendiri langsung menerima lamaran itu karena berpikir sudah waktunya hubungan mereka melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau dari ceramah kakaknya, itu berarti salah.

Sesi obrolan mereka tiba-tiba dikejutkan dengan kemunculan Kak Ratih. “Eh, maaf, maaf. Aku mengganggu, ya?”

Ya, beberapa hari ini yang dilakukan semua anggota keluarganya adalah mengganggu, mengganggu, dan mengganggu kedamaiannya.

“Kenapa, Ratih?” tanya Kak Wulan dengan nada suara laksana seorang bos dengan bawahannya.

“Hm….” Kak Ratih meliriknya ragu-ragu.

“Nggak apa-apa,” jawab Citra. “Sudah, ngomong saja.”

“Itu, lho, Kak Wulan, yang kamu suruh kemarin-kemarin. Katering sudah setuju dengan pembatalan pesanan. Cuma… lima puluh persen bujetnya, ya, hilang,” jelas Kak Ratih.

Lihat selengkapnya