Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #14

14. Cinta Pertama

“Sst.”

Suitan pelan mampir di indra pendengaran Citra. Gadis itu tidak mengindahkannya. Kelas yang ia hadiri saat itu adalah kelas untuk mata kuliah umum. Jadi, mahasiswa yang masuk berasal dari berbagai jurusan. Tingkah mereka pun bermacam-macam. Citra tidak mau mengonfrontasi dan menimbulkan konflik dengan orang yang tidak ia kenal.

Tiba-tiba, Citra merasa kalau bahunya dicolek. Mukanya cemberut menahan marah. Ia menoleh untuk mencari tahu siapa pelakunya.

“Hai, Citra.”

Wajah tegangnya berubah lembut. “Bandu?” Hari ini, laki-laki itu mengenakan kemeja berwarna hijau. Warna favorit Citra.

Bandu duduk di sampingnya, lalu berkata, “Nanti aku boleh pinjam catatan kamu, ya.”

“Agama?” tanya Citra memastikan karena mereka sedang menunggu dosen mata kuliah Pendidikan Agama. “Memangnya, kamu mau bolos?”

“Nggak.”

“Kenapa nggak mencatat sendiri?”

Bandu mengedikkan bahu. “Nanti nggak bisa ngelihatin kamu, dong.”

Citra tidak mau kegeeran, tapi Bandu sedang berusaha menggodanya, bukan? Tanpa bisa Citra cegah, wajahnya bersemu merah. Ia menarik-narik kunciran rambutnya. Untunglah, tidak berapa lama kemudian, dosen yang ditunggu-tunggu memasuki kelas dan memulai perkuliahan. Citra bisa mengalihkan pikirannya terhadap pelajaran yang disampaikan oleh dosennya di depan kelas.

Pendidikan Agama adalah mata kuliah wajib yang diberikan sewaktu mahasiswa baru memasuki perguruan tinggi. Citra sendiri tidak mengerti mengapa mereka masih mendapatkan kelas ini. Pasalnya, mereka sudah mendapatkan pelajaran itu sejak kecil.

Tiba-tiba, terdengar dengkuran halus dari pria yang duduk di samping Citra. Bandu tertidur. Citra tidak bisa menyalahkan pria itu sesungguhnya. Selain, ilmu yang berulang-ulang dari mereka kecil, cara dosen menyampaikan juga jauh dari kata menarik.

Citra ingin membangunkan Bandu. Namun, sewaktu mengamati pria yang sedang tidur itu, Bandu terlihat damai. Lihat, bulu matanya yang panjang. Pipinya menggembung karena bertumpu pada meja. Akibatnya, mulut Bandu jadi setengah terbuka. Citra penasaran ingin menyentuhkan jarinya ke bibir laki-laki itu.

Mendadak, Bandu terbangun yang membuat Citra terkejut. Hampir saja ia berteriak dan melonjak dari kursi, sedangkan dosen masih menyampaikan pelajaran di depan kelas. Bandu yang mendapati kelas belum berakhir, mendesah kecewa.

“Ah, kirain sudah selesai.”

Citra begitu gugup karena takut ketahuan telah memperhatikan Bandu diam-diam. Gadis itu salah tingkah dan berpura-pura menggaruk-garuk kepala. Lalu, entah mengapa ia melepaskan kunciran rambutnya.

Bandu mengerjapkan mata. “Lebih lucu kalau dikuncir,” kata laki-laki itu.

“Eh, apa?”

“Rambutnya,” kata Bandu.

Lihat selengkapnya