Tidak pernah sedetik pun tebersit dalam benak Citra kalau ia akan mengalami momen kebingungan memilih pakaian untuk dipakai berkencan. Apalagi, koleksi bajunya tidak jauh-jauh dari warna-warna monokrom. Sekarang, baru ia paham mengapa wanita selalu merasa kekurangan baju, terutama apabila hendak pergi berkencan.
Terdengar ketukan di pintu kamarnya. Belum juga Citra memberikan izin, kepala Kak Indri melongok setengah, “Cit, punya….” Melihat kesibukan Citra, kakak ketiganya itu berhenti dan memperbolehkan dirinya sendiri melangkah lebih dalam.
“Tumben, sang nona rapi kamarnya bisa berantakan begini.”
Citra tidak mengindahkan komentar dari perempuan yang berusia terpaut dua tahun darinya itu.
“Mau ke mana?” tanya Kak Indri.
“Pergi sama Bandu,” jawab Citra terus-terang.
Citra sudah beberapa kali mengenalkan Bandu kepada anggota keluarganya, terutama ketika laki-laki itu mengantarkannya pulang. Bapak dan Ibu sendiri tidak melarang anak-anak mereka berpacaran asal sudah di atas tujuh belas tahun. Namun, tetap saja keluarga Citra menerapkan beberapa aturan, salah satunya adalah kewajiban mematuhi jam malam.
“Kenapa dia cuma antar dan jemput kamu doang, sih?”
Pertanyaan Kak Indri itu ada benarnya. Bandu tidak pernah berlama-lama di rumahnya. Paling-paling, ia akan duduk di ruang tamu jika Bapak memanggilnya masuk. Bandu hanya akan bersuara kalau ditanya. Laki-laki itu tidak bisa menciptakan pembicaraan yang seru dengan kedua orang tuanya ataupun anggota keluarganya yang lain.
Citra tidak menyalahkan Bandu. Soalnya, Bapak dan Ibu selalu mengingatkan pria itu untuk menjaga anak perempuannya. Bukan berarti itu salah. Akan tetapi, ia paham kalau topik itu janggal dibicarakan antara orang tua dan pacar anaknya. Citra bahkan heran bagaimana pacar kakak keduanya, Kak Ratih bisa akrab dengan kedua orang tuanya?
“Memangnya diajak ke mana kamu?”
Citra mengedikkan bahu. “Surprise, katanya. Merayakan hari jadian.”
Sekonyong-konyong, Kak Indri mengobrak-abrik isi lemarinya, lalu memilihkan sebuah rok untuk Citra kenakan. Ia memandangi kakak ketiganya itu. “Terlalu pendek,” kata Citra sambil melemparkan rok itu ke atas baju yang menumpuk.
“Diketawain dedek-dedek gemas di Pondok Indah Mal kamu kalau menganggap itu terlalu pendek.” Kak Indri mengambil rok itu kembali dan mematutnya di badan Citra. Rok merah jambu itu jatuh persis di atas lututnya. Mungkin aksen kerutan di sekelilingnya yang membuat Citra menilai rok itu pendek buatnya. Gadis itu hapal karena Citra menyesal telah membeli rok itu saat diskon di sebuah aplikasi belanja daring.