Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #16

16. Rentang Kisah

Di Universitas Batavia, gedung jurusan Arkeologi dan Ilmu Perpustakaan berdekatan karena bernaung dalam fakultas yang sama. Oleh sebab itu, tidak sulit bagi Citra untuk berlari ke wilayah kekuasaan Bandu dan menemui pacarnya itu. Ini penting karena sejak melewati tahun pertama sebagai mahasiswa, mereka sudah tidak pernah lagi mendapatkan kelas kuliah umum bersama-sama.

Itupun, bisa dihitung dengan jari kapan Citra mendatangi Bandu. Tidak heran kalau tetap saja ia merasa rikuh berada dalam lingkungan yang dihuni oleh kebanyakan pria. Salah seorang teman Bandu mengenalinya dan membantu Citra memanggilkan laki-laki itu.

Begitu Bandu ada di hadapannya, laki-laki itu tidak segera memeluknya. Bahkan, ketika Citra mendekatkan tubuhnya, pria itu tampak enggan. Citra tidak tahu mengapa laki-laki itu bersikap seolah-olah mereka asing.

Mendadak, seorang perempuan mendekati Bandu seraya berkata, “Bandu, jadi, kan, nanti malam?”

Citra bertanya-tanya apakah perempuan itu tidak melihat keberadaan dirinya di sana? Ia menaruh curiga. Hanya saja, ia bingung apakah kecurigaannya itu beralasan atau tidak.

“Hei, Lisa.” Teman yang membantu Citra tadi menyela. “Bandu sudah mengerjakan bagiannya di tugas kelompok kita. Nggak adil kalau kita memaksa dia ikut mengerjakan bagian kita.”

Wanita yang dipanggil Lisa itu menatap Bandu dan bertanya, “Eh?”

Citra menatap Bandu dan temannya itu berganti-gantian. Kecurigaannya belum sepenuhnya hilang. Namun, apa yang bisa ia lakukan selain mencoba mengesampingkan perasaan yang tidak beralasan itu.

Teman-teman Bandu itu sudah menghilang dari pandangan. Citra dan pacarnya berjalan menjauhi gedung Arkeologi. Tidak ada yang mengatakan akan ke mana tujuan mereka. Citra sendiri tidak berani bertanya karena masih menyangka Bandu sedang tidak dalam suasana yang baik.

Tiba-tiba, Bandu memeluk bahunya. “Kita ke sana, yuk.”

Keragu-raguan yang sebelumnya timbul, langsung menghilang. Bandu masih pria yang sama yang melindunginya dari sinar matahari saat pertama kali mereka berjumpa. Bandu adalah pria pertama yang menyatakan cinta kepadanya. Citra harus menjaga cinta itu sampai nanti.

Bandu menggandengnya menuju danau yang sering dijadikan tempat nongkrong oleh para mahasiswa. Akan tetapi, Bandu mengajaknya ke tempat yang lebih sepi. Mereka duduk di bawah pohon yang daun-daunnya sedang berguguran.

Mereka berbincang tentang perkuliahan masing-masing. Bandu mengungkapkan kalau teman-temannya sudah mulai mengajukan permohonan untuk kerja praktik. Kebanyakan mengambil Solo karena tertarik dengan situs purbakala yang mengungkap keberadaan diduga manusia pertama di Indonesia.

“Ngomong-ngomong Solo… tahu, kan, kalau calonnya Mbak Wulan berasal dari Solo.”

Bandu menggelengkan kepalanya.

“Sebentar lagi mereka menikah.”

“Oh, ya?”

Citra menepuk dada Bandu. “Aku sudah pernah bilang, lho. Seragam kamu juga sudah dijahit.”

“Lho, kapan aku pernah bilang bisa datang?”

Citra terdiam. Memang, laki-laki itu bisa saja tidak mengungkapkan secara gamblang kalau bersedia datang di acara keluarganya. Namun, bukannya sudah merupakan awam kalau pacarnya juga harus turut datang ke pesta sebagai salah satu anggota keluarga?

Lihat selengkapnya