Begitu menyampaikan kalau Citra berniat memakai paket bulan madu yang ia sudah lama ia pesan, keluarganya memandangnya aneh. Bapak dan Ibu langsung menolak rencana itu. Untung ada Kak Indri yang mendukung dan membantunya meyakinkan kedua orang tuanya untuk menyetujui keinginan Citra.
Jadi, di sinilah ia sekarang. Bali, tujuan wisata bulan madu yang menjadi impian banyak orang. Citra yang memilih paket bulan madu itu. Bandu hanya berpesan agar menyertakan makan malam di atas kapal pesiar di Pelabuhan Benoa. Dia merencanakan paket itu dengan hati-hati dengan harapan menjalani empat malam tiga hari yang menyenangkan selama di Bali.
Ia memang berada di Bali dan berhasil mewujudkan mimpi berbulan madu di pulau surga tersebut. Akan tetapi, ia mendatangi tempat itu tanpa pasangan. Lalu, satu hal lain yang lebih menyedihkan lagi. Pagi ini, ia masih bergelung di tempat tidur sama seperti yang ia lakukan di kamarnya.
Seperti fiksi dalam buku cerita dan film, Citra ingin menemukan sosok bijak yang dapat menumpaskan sakit hatinya yang mandalam. Tokoh yang dihormati dan welas asih. Kalau di film, beliau adalah seorang sepuh yang mengenakan kebaya dan menatapmu tajam ke relung jiwa.
Tiba-tiba, telepon di kamarnya berdering.
“Citra’s speaking…” katanya karena kebiasaan. Ia menghentikannya setelah menyadari kalau ia tidak sedang bekerja.
“Bapaknya sudah menunggu di lobi, ya, Mbak Citra,” Resepsionis Hotel mengabarkan.
“Bapak?” tanya Citra cepat. Ia tidak ingat pernah menyuruh seseorang mendatanginya di sana. Walau bagaimanapun, ia memutuskan untuk terbang sendirian ke Bali karena ingin menyendiri. Satu nama menyeruak. Bandu. Apakah laki-laki itu menyusulnya?
“Mobil tur yang akan membawa Mbak jalan-jalan. Supirnya sudah di sini.”
Dalam hati, Citra mengutuk kebodohannya sekaligus menertawakan harapannya. Mana mungkin mantan tunangannya itu rela mendatanginya di sini? Laki-laki itu sudah punya istri dan calon bayi yang akan lahir sebentar lagi. Mana ada ruang yang tersisa untuk memenangkan hati Citra?
“Mbak?”
Sambil memutar-mutar gagang telepon, “Iya, nanti saya ke bawah,” begitu akhirnya Citra bertitah.
Bagaimana gadis itu bisa lupa kalau ia telah memesan tur bulan madu selama di Bali? Ia belum mandi karena memang tidak berniat ke mana-mana. Meskipun demikian, ia mengganti baju tidurnya dengan kaos berbahan nyaman serta celana denim. Kemudian, ia turun untuk menemui supir tur yang telah ia pesan itu.
“Saya Made. Apakah sudah siap berangkat?” tanya pemandu turnya sambil melihat ke sekeliling.
Citra menduga kalau supir itu menunggu-nunggu kedatangan pasangannya. Ya, namanya juga tur yang ia pesan adalah perjalanan wisata bulan madu. Tentu saja, bapak itu mencari-cari siapa satu orang lagi yang menemani perjalanan Citra hari itu.
“Ayo, Pak. Kita berangkat,” ajaknya berpura-pura tidak menyadari kebingungan dari pemandu turnya itu.
Untunglah, Pak Made tidak membantah. Supir sekaligus pemandu tur itu membukakan pintu di tengah untuknya. Sebaik wanita itu bersandar di kursi penumpang, Citra mengenakan kacamata hitam demi menghindari pembicaraan dengan Pak Made.
Begini lebih baik, pikirnya dalam hati. Ia tetap menggunakan paket bulan madu yang telah dibayar lunas berbulan-bulan lalu, tapi ia masih bisa menikmati kesendiriannya.