Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #18

18. Foto Pengantin

“Vikri!” Pria itu berbisik meralat sapaan yang dilontarkan oleh Citra kepadanya.

Situasi itu familiar bagi Citra. Pak Vikri adalah teman atasannya, Ibu Arinda. Pria itu sering menelepon kantor dan meminta dihubungkan dengan bosnya itu. Selama ini, Pak Vikri memang selalu menolak dipanggil dengan sebutan ‘Bapak’. Selama itu pula, Citra sungkan mematuhi keinginan tersebut.

“Oh, ini rupanya Mas Bandu. Ditungguin dari tadi, Mas. Kenapa datangnya misah dari Mbaknya, sih?” repet Karyawan Studio.

Pak Vikri tampaknya senang sekali berpura-pura menjadi Bandu. “Iya, iya. Saya Bandu,” katanya tegas.

“Ayo, Mas, Mbak, ikut saya!” ajak karyawan tersebut seraya menunjuk satu ruangan yang terletak di bagian dalam studio.

Meskipun canggung, Citra mengikuti saja langkah Karyawan Toko. Ia mengawasi ruangan itu dan menemukan meja rias dan lemari penuh kostum di sana. Ia teringat kata karyawan tadi kalau pemotretan dilengkapi dengan jasa riasan wajah.

Mata Citra menangkap pantulannya di sebuah cermin. Aduh, ia hampir tidak mengenali wanita yang menatapnya balik itu. Alih-alih berwajah segar bak calon pengantin, wajah Citra justru seperti desainer grafis yang berulang kali harus begadang demi memenuhi revisi berulang-ulang dari kliennya.

Lingkaran bawah matanya menghitam dan rambutnya yang dikuncir kuda licin berminyak tapi tampak kaku seakan-akan tidak mengenal sisir. Citra beralih ke arah baju yang sedang ia kenakan. Kaos butut dan celana denim yang menempel di tubuhnya itu tidak mampu memperbaiki representasi dirinya yang jauh dari kata menarik. Wajah Citra mendadak memerah menyadari beginilah penampilannya saat bertemu hari itu.

“Selamat pagi, Mbak Citra. Saya yang akan makeup Mbak Citra hari ini.”

Penata rias mengatur tempat duduk pertanda Citra diharapkan duduk di sana. Ia mengikuti arahan itu. Tidak enak hatinya semakin bertambah sewaktu penata rias menyentuh rambutnya. Kemudian, bedak dibubuhkan ke rambutnya. Rasa malunya perlahan-lahan meredup karena penata riasnya murah senyum. Tidak ada komentar apa-apa tentang rambutnya maupun kulit kering dan mata pandanya.

“Berpisah dulu, ya, dari suaminya,” kata penata rias. “Masnya ada di ruang sebelah, kok.”

Penata rias itu menggodanya dan tertawa kecil. Citra ikut tertawa demi kesopanan. Setelahnya, ia mencoba menutup mata pertanda tidak mau diganggu dengan terlalu banyak mengobrol. Untungnya, penata rias itu mengerti dengan keadaannya.

Penata rias itu baru mengeluarkan kata-kata sewaktu rias wajahnya selesai. “Ayo, Mbak, kita pindah.”

Citra membuka mata dan seketika mengagumi bayangannya di kaca. Setelah disisir dan diberikan tambahan rambut, mahkota Citra itu jadi terlihat lebih tebal dan indah. Pulasan di kelopak matanya memberikan kesan cerah dan berbinar. Bibirnya dipoles dengan warna merah menyala. Selama ini, Citra menghindari rias wajah yang tebal dan lebih memilih warna-warna lembut. Tapi, di tangan perias di belakangnya ini, gaya makeup tegas itu ternyata sesuai buatnya. Keletihan di wajahnya telah memudar berganti penampilan yang segar.

“Sekarang kita pakai kostumnya, yuk!”

Citra masih terpana dengan wajah barunya. Kekaguman itu tidak berhenti sewaktu ia dipakaikan pakaian adat pengantin Bali lengkap dengan mahkota berwarna keemasan. Hanya satu yang menjadi keberatannya, yaitu set lengkap pakaian itu terutama kain tradisional sedikit menyusahkannya berjalan.

“Nggak apa-apa, Mbak. Pelan-pelan, saya bantu, ya.”

Citra mengangguk. Dengan mata yang menunduk, jalannya yang tertatih-tatih menuju studio foto.

“Wah, Citra. Ini benar kamu, nih?”

Citra mendongak. Rupanya, Vikri sudah menunggu di studio. Maklum, sebagai laki-laki, riasan wajah yang dioleskan ke wajahnya tentu saja tidak serumit untuk para perempuan. Kalau biasanya Citra akan malu luar biasa mendapatkan komentar akan tubuh dan penampilannya, kali ini berbeda.

Citra tersenyum dan berujar, “Konyol, ya?”

Lihat selengkapnya