Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #20

20. Selera Humor

Pagi tadi, Citra masih meringkuk di dalam selimut dan tidak ingin melakukan apapun. Menjelang siang, ia sudah berkendara bersama Pak Made dan Vikri. Betapa semesta bisa semudah itu membolak-balikkan keadaan. Ya, sama seperti rencana pernikahannya dengan Bandu yang gagal karena kedatangan wanita lain secara tiba-tiba. Mengingat mantan tunangannya itu, Citra memutar-mutar cincin yang melingkari jari manisnya.

“Masih setengah jam lagi, nih, kayaknya nyampainya. Macet, ya, ternyata,” kata Vikri yang sekarang berpindah duduk ke depan, di samping Pak Made.

“Maklum, jalannya memang kecil, Mas.”

“Citra?” panggil Vikri sambil meliriknya dari kaca spion. “Kalau sudah lapar, ada snack di tas. Ambil saja.”

Citra bergeming. Isi kepalanya kembali teringat akan kegagalan pernikahannya. Ia masih mereka-reka apa yang salah dari hubungannya dengan Bandu selama tujuh tahun ini? Apakah adil ia menjadi yang paling tidak diuntungkan dalam situasi itu?

“Mbak Citra sudah capek?” tanya Pak Made.

Citra tidak ingin merusak suasana. Oleh karena itu, ia mengukir senyum palsu di wajahnya. “Kita makan di restoran saja, Pak.”

Pak Made menjelaskan kalau mereka akan makan siang di sebuah restoran di Kintamani. Pemandu tur mereka itu mencoba membangkitkan semangat Citra dengan memaparkan keunikan tempat itu.

“Dari atasnya, kita bisa melihat Danau Batur.”

Citra tidak bisa memaksakan kegembiraan. Ini adalah perjalanan bulan madu. Semuanya dirancang agar dapat berdua-duaan dengan pasangan suami-istri. Bagaimana ia bisa merasa pantas menikmatinya, sedangkan ia adalah wanita yang dibuang?

Akhirnya, mobil berhenti di depan restoran yang sudah tercantum dalam paket bulan madu yang dipesan oleh Citra. Gadis itu dan Vikri dibimbing ke meja yang posisinya tepat di luar dan menghadap pemandangan Danau Batur.

“Hm, Cit? Dari tadi kamu diam saja,” ujar Vikri.

Citra melihat sekeliling. Tampaknya, restoran yang mereka datangi itu terkenal sebagai tempat bulan madu. Pasalnya, hampir seluruh tamu datang berpasang-pasangan. Selain itu, ada instalasi berbentuk hati di pinggir sana. Walaupun norak, tetap saja banyak yang berfoto dengan latar belakang itu.

“Kenapa, Cit?” ulang Vikri.

Citra memeluk dan mengusap-usap bahunya sendiri. Cuaca saat itu sebenarnya tidak dingin-dingin amat. Ia hanya sudah tidak minat lagi melanjutkan sandiwara dan berpura-pura bahagia, padahal sebenarnya ia menderita. Hati yang bersedih itu rupanya sedikit banyak mempengaruhi suhu tubuhnya.

Lihat selengkapnya