Citra dan Vikri tidak lolos dari omelan setelah membuat keributan di restoran yang berlokasi di Kintamani itu. Pemilik restoran menceramahinya dengan embel-embel perilaku mereka mengganggu ketenangan dan keluhuran dewa-dewa. Bahkan, perilaku keduanya disamakan dengan tingkah bule gila yang tidak tahu aturan yang sedang menjamur di Bali. Mereka disebut-sebut mempermalukan turis domestik saja.
Citra tidak peduli. Ia dan Vikri tertawa-tawa sepanjang perjalanan menuju destinasi selanjutnya, yaitu Pura Tirta Empul. Ini adalah tempat ibadah. Oleh karena itu, Vikri bertanya-tanya mengapa gadis itu memasukkan tempat itu sebagai salah satu tujuan wisata.
“Saya pikir sebelum memasuki kehidupan baru, kami perlu sama-sama bersih. Mulai dari nol,” kata Citra.
Vikri mengangguk-angguk mengerti. “Tapi, tahu nggak? Katanya, air ini dipakai untuk memerciki laskar Batara Indra yang gugur saat perang melawan Mayadenawa. Ajaibnya, mereka bisa hidup lagi. Makanya air ini dipercaya bisa bikin awet muda dan panjang umur.”
“Ah, saya nggak mau panjang umur. Buat apa memperpanjang penderitaan di dunia?” bantah Citra.
Vikri tertawa. “Bukan begitu. Saya mengaitkan dengan alasan kamu mengunjungi pura ini. Laskar yang hidup lagi itu cerminan kalau air ini menghilangkan hal-hal buruk yang membebani hidup mereka sebelumnya. Setelah bersuci dengan air ini, mereka menjalani kehidupan baru dengan melepaskan beban yang lama. Mau mencobanya?”
“Saya nggak bawa baju ganti.”
“Kan, masih ada kemeja ini,” kata Vikri menunjuk kemeja kotak-kotak yang masih dikenakan oleh gadis itu.
Citra menolak. “Ini lebih dari mengusir kedinginan. Saya pasti basah kuyup kalau nyemplung di sana.”
“Mana keberanian yang aku lihat dari seorang Citra seperti di Kintamani tadi? Masa masih memikirkan baju gantilah, baju basahlah. Bukannya itu perkara kecil, ya?” tantang Vikri seraya melekatkan jari jempol dan kelingkingnya.
Laki-laki itu benar. Di Kintamani tadi, ia merasakan sensasi yang tidak pernah ia alami sebelumnya. Mungkin, cara yang ia pilih kurang tepat. Namun, berteriak menumpahkan ganjalan hatinya mampu memunculkan keberanian yang selama ini tidak ia miliki.
Rupanya, dirinya tidak terbatas pada hal-hal yang tidak disukai oleh orang-orang di sekelilingnya, terutama Bandu. Ternyata, kalau ia melakukan apa yang ia mau, konsekuensi yang ia hadapi tidak semengerikan itu. Ia hanya perlu menyiapkan diri untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Peduli setan sama larangan-larangan yang diciptakan oleh orang lain untuk dirinya.
“Ya, ya…” ujar Citra berani. “Ini lebih enteng ketimbang tadi. Memangnya kenapa kalau pulang dengan baju basah? Toh, bisa kering lagi.”
Citra memutuskan meladeni tantangan Vikri. Ia mengatur letak kain yang ia kenakan sebelum turun ke kolam. Ia membiarkan air suci dari Tirta Empul membasahi kakinya. Ia basuh wajahnya dengan air yang mengalir dari pancuran. Meskipun, Citra berhati-hati agar jangan sampai air membasahi bajunya, tak urung beberapa cipratan air tetap mengenai beberapa bagian kaosnya.
Tidak mengapa, hiburnya kepada diri sendiri. Seperti kata Vikri tadi, ia perlu melepas semua beban. Ia perlu meluruhkan kemelekatan yang selama ini ia gendong ke mana-mana. Tidak perlu melupakan, tapi menyadari kalau ia membiarkannya terus melekat, justru langkahnya akan terus tertahan.
Sudah cukup ia menderita karena berandai-andai dan memainkan semua scenario ‘What If’ di kepalanya, pikir Citra. Begitu selesai, ia tidak lagi mengkhawatirkan baju basahnya. Ia ingin bertemu dengan Vikri secepat mungkin.
Akan tetapi, begitu sampai di atas, ia tidak menemukan laki-laki itu dalam jangkauan pandangannya. Namun, berbeda pada saat di Desa Celuk, ia tidak lagi blingsatan. Nomor telepon laki-laki itu sudah tersimpan di ponselnya. Citra bisa menghubunginya kapan saja.