Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #23

23. Makan Malam

Citra yang sempat menganggap kalau keputusannya menggunakan paket bulan madu sendirian adalah hal ternekat, mulai berubah pikiran. Begitu pula tatkala ia memutuskan untuk menemui Pak Made. Ia menyangka hari yang ia jalani akan menyedihkan. Rupanya, ia salah besar.

Penyebabnya tentu saja karena laki-laki yang seharian ini menemaninya. Pak Vikri, eh ralat, Vikri, teman dekat Ibu Arinda. Tadinya, ia sangka pria itu adalah sosok yang serius. Pasalnya, selama ini ia berinteraksi dengan Vikri hanya di kantor semata. Tidak tahunya, laki-laki itu humoris. Ia betah bercakap-cakap dengan Vikri. Sepanjang perjalanan, ia dapat menimpali apapun kalimat laki-laki itu dengan baik, setidaknya begitu menurutnya. Citra sampai heran sendiri, bagaimana ia yang pendiam ini mampu melontarkan puluhan kosa kata?

Agenda terakhir pada perjalanan mereka hari itu adalah makan malam di Jimbaran. Sewaktu merencanakan paket tur ini, Citra tidak peduli restoran apa yang akan mereka datangi. Yang penting, kebutuhan makan malamnya dengan Bandu terpenuhi. Namun, masuk dengan kaos turis dan celana denim, mengakibatkannya seperti salah masuk tempat. Pasalnya, pengunjung lain menikmati makan malam mereka dengan mengenakan pakaian yang lebih rapi.

Citra mendesah kecewa.

“Kenapa, Cit? Jangan bilang nggak suka dengan menunya?”

Citra menggelengkan kepalanya. Ia suka dengan hidangan laut. “Penampilan kita nggak cocok dengan aura romantis tempat ini.” Kalau mereka disandingkan dengan semua pengunjung di sana, pasti orang-orang menyangka ia dan Vikri adalah karyawan restoran, alih-alih tamu yang memang ingin makan malam di sana.

“Romantis nggak tergantung dari tempat dan tampilan luar, tapi dari hati kita sendiri. Kalau hati kita merasakan suasana yang romantis, ya romantis saja.”

Citra menatap Vikri. Bisa dibilang, laki-laki itu tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Tapi, seharian ini justru Vikri yang menemaninya seakan-akan Citra adalah orang paling spesial buatnya. Vikri memastikan kebutuhan Citra terpenuhi. Lihat saja kaos yang ia pakai sebagai pengganti bajunya yang basah ketika di Tirta Empul.

Permainan nasib apa yang akan Citra jalani setelah ini, terutama dengan persinggungan antara dirinya, Vikri, dan Ibu Arinda?

“Boleh tahu nggak, sejak kapan kamu kenal Bu Arinda?”

“Pas SMP. Terus menyambung ke SMA yang sama,” jawab Vikri cepat.

“Hm, sudah lama,” komentar Citra. Ia pernah mendengar kalau hubungan asmara yang awet pasti bermula dari pertemanan. Tampaknya, Vikri dan Ibu Arinda adalah tipe pasangan seperti ini.

“Waktu SMP, kami membentuk satu geng. Arinda satu-satunya cewek di kelompok kami. Walaupun cewek, Arinda itu nggak ada takut-takutnya. Semua tukang bully, langsung kena jotos Arinda. Dia nggak sabaran dan selalu mau cepat-cepat. Nggak ada anak yang berani membantahnya. Galak, sih.”

Sampai sekarang juga masih, batin Citra yang membuatnya tertawa cekikikan.

“Kok, ketawa? Jangan bilang, dia masih galak sampai sekarang?”

Citra mengangguk. Di kantor, tidak ada yang berani menghadapi Ibu Arinda tanpa terlebih dahulu meminta bantuannya. Jadilah Citra mendengarkan keluhan mereka dengan sabar. Ia memilah setiap persoalan yang muncul dan mengatur trik untuk menceritakannya kembali kepada Ibu Arinda. Untunglah, atasannya itu selalu puas dengan caranya menangani pekerjaannya. Setidaknya Citra belum pernah mendapatkan komplain.

“Anehnya, anak cowok di geng kami nggak pernah menganggap Arinda galak. Tegas, iya, karena dia perlu menjadi wanita yang kuat untuk bisa survive di dunia yang kebanyakan laki-laki. Sebelum mendirikan perusahaan sendiri, Arinda sering cerita kalau kemampuannya diremehkan di kantornya. Karena sudah terlatih dari remaja, dia pantang menyerah. Tapi, dia jadi dijauhi karena dianggap terlalu ambisius. Mungkin, itu yang membuatnya bersikap seperti tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Kesannya, jadi galak, deh.”

“Hm, saya tahu Bu Arinda hebat. Cuma nggak menyangka kalau perjalanan kariernya nggak selalu mulus.”

Lihat selengkapnya