Pagi itu, Tanjung Benoa tidak terlalu ramai. Maklum, Citra sudah sampai di pusat wisata bahari itu sejak pukul delapan pagi. Ia tidak sendirian. Hari kedua perjalanan bulan madunya masih ditemani oleh Vikri.
Hari ini, laki-laki itu mengenakan kaos dan celana pendek bermodel kargo karena memang sudah tahu kalau agenda mereka adalah melakukan aktivitas olahraga air.
“Pertama, parasailing, ya?”
Ia melihat satu pengunjung terbang melayang-layang di udara dan hanya bergantung pada tali saja. Citra menggigiti bibirnya, menyesal telah mengiyakan tantangan dari Vikri. Ia mengangguk pelan menunjukkan sikap ragu-ragunya.
“Aduh, masih saja khawatir berlebihan,” protes Vikri.
Kata-kata Vikri tadi malam yang menyuruhnya untuk berani menghadapi apapun tantangan di depan mata kembali membayangi pikirannya. Namun, ketika tantangan itu benar-benar di depan matanya, nyali Citra jadi menciut.
Oleh karena tidak kunjung mendapatkan penegasan dari Citra, laki-laki itu mendekatinya dan menatap matanya dalam-dalam. “Jangan takut, sekarang ada saya,” kata Vikri.
Mata Vikri yang menyisakan bagian terang pada lingkaran terluarnya memendarkan cahaya kepada matanya. Citra mengangguk-anggukkan kepala. Ia mengepalkan tangannya yang mendadak gemetaran.
Tidak terduga, Vikri menarik tangan Citra dalam genggamannya. “Nggak apa-apa, kalaupun kamu memilih membatalkannya. Nggak salah. Bisa jadi, kamu harus belajar dulu untuk punya kemampuan mengatasinya. Bisa juga, kamu lebih suka menjalani jalan yang berbeda.”
Citra tidak sepenuhnya mendengar kata-kata Vikri itu dengan jelas. Ia hanya menangkap janji kalau laki-laki itu selalu ada untuknya.
“Ayo, Mbak,” kata instruktur mengingatkan kalau sudah giliran Citra untuk ditarik sampai terangkat oleh kapal.
Ia diam saja yang dianggap persetujuan oleh instruktur tersebut. Petugas wisata air itu memakaikan rompi kepadanya.
Mengawasi Citra yang tidak bereaksi, Vikri berucap, “Tunggu,” yang membuat instruktur menghentikan aksinya. Setelah itu, Vikri mendekatkan bibirnya ke telinga Citra dan membisikkan, “Nggak apa-apa, Citra. It takes time. So, take your time.”
Ada jeda beberapa detik, sampai akhirnya Citra bersuara. “Tapi, kalau nggak sekarang, kapan lagi?”
Vikri tertawa. “Ya, benar. Jadi, siap?”
Citra menelan ludah dan menganggukkan kepalanya. “Asal ada kamu,” balasnya lirih.
Tangannya tidak lagi gemetar. Langkahnya tidak lagi lunglai. Citra mendatangi instruktur dan memintanya segera memulai. Dengan konsentrasi tinggi, gadis itu menyimak suruhan berlari sekencang di awal terbang sampai pengingat untuk menarik tali begitu hendak mendarat. Detak jantungnya memang berkejar-kejaran. Namun, ketakutannya tidak mampu mengambil kendali perintah.
Pengendara kapal memberikan aba-aba pertanda Citra dipersilakan untuk segera berlari. Ia menengok ke arah Vikri dan tersenyum kepada laki-laki itu. Kakinya mematuhi perintah para petugas dan napasnya terengah-engah. Tanpa sadar, Citra masih berlari tatkala tubuhnya itu sudah melayang di udara.