Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #25

25. Melepas Kenangan

Wisata olahraga air telah tuntas dilakukan oleh Citra. Sekarang, mobil yang dikendarai Pak Made berhenti di sebuah pintu masuk menuju pantai. Ketika membuka jendela kaca mobil, aroma asinnya air laut sudah tercium. Angin yang bertiup kencang merusak tatanan rambutnya. Ia tergoda untuk mengikat rambutnya menjadi gaya kuncir kuda. Namun, sesaat kemudian ia memutuskan untuk menggerainya saja.

Citra mengaduk-aduk tas berisi perlengkapan jalan-jalan mereka hari ini. Belajar dari pengalamannya kemarin, gadis itu menyiapkan semua yang sekiranya ia perlukan hari ini; mulai dari baju ganti sampai sandal jepit. Dapat. Benda terakhir itulah yang dicari-carinya. Ia tukar sepatu yang sedang dipakainya. Tujuan mereka adalah pantai dan ia memerlukan alas kaki yang membuatnya leluasa berjalan di atas pasir.

“Kita ini di mana?” tanya Vikri sebaik mereka turun dari mobil.

“Dreamland,” jawab Citra. “Tapi lokasinya agak terpencil. Kita harus jalan kaki dulu sedikit.”

“Memang bedanya apa sama pantai di Kuta?”

“Kamu belum pernah ke sini?” tanya Citra.

Vikri menggeleng. “Waktu saya masih di Indonesia, pantai ini sepertinya belum terlalu dikenal. Setelah balik, baru kali ini aku ke Bali lagi.”

Mungkin, ia bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan besar yang dari kemarin mengganggu pikirannya terkait hubungan Vikri dengan Ibu Arinda. Namun, ia harus hati-hati. “Kamu kenapa balik ke Indonesia? Bukannya lebih enak tinggal di Jerman?”

Tepat di belakang Citra, laki-laki itu membuntutinya sambil menjelaskan, “Ibuku. Menurut beliau, laki-laki yang usianya melewati 30, sudah termasuk taraf mengkhawatirkan untuk urusan jodoh. Jadi, dia menyuruhku kembali untuk cari istri.”

“Masa? Saya pikir hanya perempuan yang didesak-desak untuk berumah tangga.”

“Saya pikir bukan soal laki-laki dan perempuan. Tapi, di mana-mana semua orang tua itu sama.”

“Mereka mau anaknya bahagia?” tanya Citra.

“Bukan. Mereka lelah mengkhawatirkan anaknya terus-terusan. Jadi, perlu kasih tugas itu ke orang lain.”

Citra tertawa. “Kamu ini. Setiap saya pikir akan serius, ternyata malah bercanda,” celetuknya sebelum berhenti.

Mereka telah sampai di pantai tujuan.

“Ini Dreamland? Wow.”

Citra senang mengetahui reaksi laki-laki itu seperti apa yang diharapkannya. Mata Vikri berbinar-binar terpukau. Seperti anak kecil, pria itu melepas sepatu dan menentengnya agar kakinya berpijak pada pasir yang lembut.

Membiarkan Vikri menjelajahi pantai, Citra mencari tempat yang dapat mereka gunakan untuk duduk-duduk bersantai. Ia menghindari spot yang sering digunakan untuk berfoto dan bukan akses lalu-lalang banyak orang. Selembar kain dijadikan alas duduk. Kemudian, Citra menghabiskan waktu dengan mengecek telepon genggamnya.

“Keren juga kamu tahu tempat ini,” ucap Vikri sembari duduk di sampingnya.

“Bukan saya. Ibu Arinda.”

“Nggak percaya.”

“Benar. Waktu itu, saya bingung antara dua paket tur. Arinda bilang, ‘Pilih yang ada Dreamland-nya’.”

“Jadi, ini pertama kali kamu ke sini?”

Citra mengangguk.

“Saya tidak tahu harus senang atau meminta maaf,” kata Vikri.

“Kenapa meminta maaf?”

“Ini pertama kalinya kamu ke pantai ini. Padahal, momen ini seharusnya kamu habiskan dengan orang lain. Eh, tapi malah dengan saya.”

“Nggak, kok. Sudah lupa ”

“Ya, sudah kalau kamu bilang begitu,” kata Vikri. “Tapi, saya bukan anak kemarin sore. Saya tahu tanganmu yang lengket di handphone itu sedang scroll foto-fotonya.”

Seakan telepon selulernya mendidih, Citra melepaskan gawai itu dari tangannya.

Lihat selengkapnya