“Kamu yakin masih mau menemani saya makan malam?” tanya Citra sesampainya mereka di lobi hotel tempat gadis itu menginap.
Pak Made sudah pamit berlalu meninggalkan Citra bersama Vikri.
“Justru saya yang seharusnya bertanya. Kamu yakin masih mau saya temani?”
Telepon genggam Vikri kembali bernyanyi. Laki-laki itu membiarkannya. Identitas penelepon itu masih sama seperti dalam perjalanan pulang dari Pantai Dreamland. Arinda.
“Nggak mau diangkat dulu?” tanya Citra.
“Nggak usah.” Laki-laki itu menyembunyikan ponsel itu ke saku celananya. “Jadi, nanti saya ke sini jam lima?”
“Kalau kamu memang sudah ada acara lain, bilang saja, ya. Saya bisa membatalkannya,” kata Citra.
“Nggak ada, kok. Saya malah penasaran dengan restoran kapal pesiar ini. Jadi, saya senang sekali kalau bisa datang ke sana.”
Citra berusaha menyengahkan dugaan-dugaan yang membuatnya cemas berlebihan. Lagi pula, Vikri yang menyuruhnya untuk menikmati saja liburannya di Bali. Apa yang terjadi di sini, akan tetap di sini. “Kalau begitu, jam lima?” tanyanya.
Vikri mengangguk.
“Janji?” Permohonan itu terlontar dari mulut Citra tanpa ia pikirkan sebelumnya. Setelahnya, aliran darahnya dipenuhi rasa malu karena tuntutan itu terasa tidak pantas ia ajukan. Laki-laki itu tidak memiliki kewajiban memenuhi apapun kepada dirinya. Citra menggigit bibir agar tidak ada lagi kalimat aneh yang keluar dari mulutnya.
Lagi-lagi, Vikri mengangguk.
Citra menunggu sampai punggung laki-laki itu sudah tidak terlihat lagi.
***
Perempuan itu memeriksa isi lemari di kamar hotelnya. Ia tidak menemukan gaun yang cocok untuk dipakai ke acara malam romantis di kapal pesiar. Citra beralih ke kopernya. Satu-satunya yang terlihat sesuai kriteria adalah gaun tanpa lengan berwarna hitam dengan bahu terbuka. Terlalu seksi, pikir Citra.
Ia mencari baju-baju yang lain dan gagal. Citra mengutuk dirinya sendiri yang tidak mau repot-repot mengemas ulang kopernya. Selain gaun hitam tadi, pakaian yang lainnya lebih vulgar. Mau tidak mau ia harus mengenakan gaun yang ia lihat tadi. Gadis itu masih bisa mengakali rok pendek gaun itu dengan mengenakan stoking. Menurutnya, masih pantas karena di kapal pesiar pasti akan berangin.
Baik, masalah baju telah selesai. Bagaimana dengan gaya rambut dan rias wajahnya? Mengapa dirinya jadi sibuk sendiri seperti ini? Citra mendesah dan membanting tubuh ke tempat tidur bertambah gelisah memikirkan makan malanya nanti.
***
Tidak hanya Citra yang sibuk melakukan persiapan ekstra, pada sudut kota Denpasar lainnya, tepatnya di sebuah toko pakaian, pikiran Vikri juga sedang berkelana bagaimana caranya agar ia tampak menarik saat menghadiri makan malam romantis nanti. Ini kesempatannya, ujar Vikri dalam hati.
Ia menelepon ibunya, “Ma. Kira-kira di vila ada setelan yang cocok buatku, nggak?”
“Ada juga jas kamu waktu masih SMA, Vikri.”
Yang benar saja. Itu, kan, sudah bertahun-tahun lalu. “Aduh, bisa-bisa sudah nggak muat ya?”
“Memangnya buat apa?” tanya Mama penasaran.