Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #27

27. Pengantin Pria

Citra memandang pantulannya di cermin. Cukup puas ia memandang balik seorang wanita yang memakai gaun hitam mini, stoking, dan rambut tergerai. Efek gelombang pada mahkotanya itu adalah hasil dari dia memuntir rambut ketika sedang setengah basah tadi. Tidak sia-sia karena hasilnya cukup bagus, pikirnya senang.

Mendadak, telepon di kamar Citra berdering. Gadis itu melirik arlojinya, masih lima menit lagi sebelum pukul lima.

“Mbak Citra. Ada tamu Anda yang menunggu di lobi,” begitu beritahu resepsionis hotel dari ujung telepon.

Pasti Vikri. “Terima kasih. Saya segera turun ke bawah.”

Senyumnya tidak pernah lepas dari wajahnya tatkala Citra menggunakan lift untuk turun ke lobi. Ia tidak menyesali keputusannya mengambil paket bulan madu dan menggunakannya sendirian. Citra mulai dapat melihat sisi terang dari permainan nasib yang sempat tidak berpihak kepadanya. Setidaknya, ia dapat menikmati liburan dan mengenal lebih dalam seorang laki-laki bernama Vikri.

Pintu lift terbuka. Citra menemukan wajah seorang pria yang sangat familiar dengannya. Namun, alih-alih membuatnya semakin gembira, senyum Citra mendadak menghilang.

“Bandu?” tanyanya tidak percaya.

“Citra. Aku kangen banget sama kamu, Beb.”

Bandu menarik tangannya, kemudian berniat mencium bibirnya. Sesaat, Citra tergoda untuk menyambut ciuman itu. Akan tetapi, ia tersadar dan mendorong mantan tunangannya itu.

Bandu tidak marah. Laki-laki itu menggandengnya untuk duduk di sofa di ruang tunggu lobi. Pikiran Citra berkecamuk sehingga ia menurutinya saja.

“Maafkan aku, Cit,” bisik Bandu. “Aku sudah membereskan masalah. Tolong, kita balikan, ya?”

Citra melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu. Wajahnya membeku. Tulangnya melemah. Ia tidak tahu harus bagaimana bersikap dalam suasana ini. Belum sempat dia mencerna situasi di hadapannya, Pak Made muncul di tengah-tengah mereka.

“Mbak Citra. Sudah siap untuk berangkat ke Pelabuhan Benoa?”

“Benoa? Oh, makan malam di atas kapal pesiar. Aku paling menunggu-nunggu itu, Pak. Ayo!”

Citra dapat merasakan kebingungan pemandu turnya karena Pak Made tidak berhenti memandanginya dan Bandu secara berganti-gantian. Citra diam saja dan menunduk.

“Maaf, Mas. Tapi paket itu tidak bisa digunakan oleh tiga orang.”

“Saya tahu, Pak. Namanya juga paket bulan madu. Ya, karena pengantinnya memang Citra dan saya, Bandu,” kata laki-laki itu seraya mengulurkan tangan ke arah Pak Made.

***

Sebuah kapal yang bagian luarnya didominasi warna putih beristirahat dengan anggun di pinggir Pelabuhan Benoa. Di kapal itu, sudah ada beberapa pelanggan yang bersiap-siap menunggu matahari tenggelam. Citra mengira mereka adalah tamu yang datang paling terakhir. Benar saja. Begitu mereka melangkah masuk, kapal langsung berangkat.

“Kita seperti berada di Hawaii, ya, dengan kalungan bunga seperti ini,” kata Bandu menunjuk lei di lehernya sewaktu mereka duduk berhadap-hadapan di meja yang telah disediakan.

Citra menggigit bibirnya. Tidak ada hasrat apapun dalam dirinya untuk beramah-tamah dengan laki-laki itu. Oleh karena itu, sepanjang kebersamaan mereka dari hotel menuju kapal pesiar, tidak sekalipun Citra menanggapi kalimat yang keluar dari mulut pria itu.

“Tolonglah, Citra. Aku sudah membereskan masalah. Kita tetap dapat melanjutkan rencana pernikahan kita.”

Lihat selengkapnya