Berharap Madu, Terdulang Permata

SURIYANA
Chapter #29

29. Terdulang Permata

Citra panik. Ia menggoyang-goyangkan gagang pintu. Penutup ruangan itu bergeming. Ia lalu memanggil-manggil nama atasannya menuntut agar segera dibukakan pintu.

“Ini bukan Kintamani. Kalau kamu berteriak seperti itu, satu kantor heboh. Jadi malu sendiri nanti,” kata Vikri yang dengan santainya menyilangkan kaki dan bersender di dinding.

Memerah wajah Citra karena kata Kintamani mengingatkannya kepada momen dia berteriak ke arah Danau Batur dari sebuah restoran.

Citra mengambil telepon genggam yang tersimpan di saku blazer. Nomor Tika yang ditujunya. Tersambung, namun sama sekali tidak diangkat oleh rekan kerjanya itu. Citra kembalikan telepon genggam ke sakunya. Ia lalu meraih telepon yang ada di meja dan menekan beberapa nomor. Tidak ada bunyi yang menandakan panggilannya diteruskan ke resepsionis.

“Aduh, teleponnya dikasih password lagi,” keluhnya semakin panik.

Vikri mendekatinya, mengambil alih gagang telepon dari genggaman Citra, kemudian meletakkan kembali pada tempat semula.

Sepanjang itu, Citra tidak berani mendongak. Bahkan, untuk bergerak sekadar satu sentimeter saja, ia tidak sanggup. Gadis itu takut kalau-kalau pertahanan kesedihannya jebol sewaktu menatap mata cekung laki-laki itu.

“Duduklah, Cit,” kata laki-laki itu lembut.

Citra meneliti segala kemungkinan. Kenyataannya, mereka berdua terkurung di sini dan tidak ada jalan lain untuk keluar kecuali atas belas kasih Ibu Arinda. Jadi, tidak ada gunanya dia melawan. Citra pun mematuhi perintah itu.

“Apa yang ingin kamu katakan?”

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Vikri.

Citra mesem. “Kamu masih saja menanyakan hal yang sama.”

“Karena saya benar-benar ingin tahu apa jawabannya.”

Citra memberanikan diri mengangkat wajahnya. Tatapannya bertemu dengan penglihatan laki-laki itu. “Baik-baik saja.”

Vikri tersenyum. “Saya senang mendengarnya.”

Sekali lagi ia menatap Vikri. Sekuat tenaga ia menahan genangan di matanya yang mulai tercipta. Ia harus mengatakan ini karena begitu penting buatnya. “Kalau menurut kamu, saya nggak baik-baik saja karena nggak terima kamu berencana menikah dengan Bu Arinda, kamu salah besar,” kata Citra setegas yang ia bisa dengan serak suaranya.

“Rencana menikah?”

“Jangan pura-pura! Bu Arinda sudah memamerkan cincin tunangannya.”

Vikri tertawa. “Oh, itu. Arinda memang akan menikah.”

Citra mendengus. Dugaannya ternyata benar. Baru saja sakit hatinya sembuh dari seorang pria, sosok laki-laki baru memberikannya luka yang baru.

“Tapi, bukan dengan saya. Aduh, jadi selama ini kamu pikir saya pacaran dengan Arinda?”

Lihat selengkapnya