Blurb
Aku selalu percaya bahwa jika ia cukup berusaha, maka semua akan berjalan sesuai keinginannya. Ia percaya bahwa keluarga akan selalu menjadi tempat pulang, sahabat tidak akan pergi, dan cinta yang ia jaga sepenuh hati tidak akan berubah. Harapan itu membuatnya bertahan, membuatnya terus berjalan meski terkadang dunia terasa melelahkan.
Namun, hidup ternyata tidak selalu mengikuti harapan. Harapan bisa dikhianati, janji bisa diingkari, dan orang-orang yang dulu berkata akan selalu ada, nyatanya bisa menghilang tanpa alasan yang bisa ia pahami.
Pertama, sahabat yang selalu ada sejak kecil tiba-tiba menjauh. Kemudian, keluarganya yang selama ini ia anggap sebagai tempat paling aman mulai menunjukkan celah. Dan yang paling menyakitkan, seseorang yang ia pikir akan selalu menggenggam tangannya justru menjadi orang pertama yang melepaskannya.
"Jangan terlalu berharap pada manusia, karena mereka bisa pergi kapan saja." Itu yang selalu orang-orang katakan. Tapi bagaimana mungkin ia bisa berhenti berharap? Bukankah manusia memang butuh tempat bersandar?
Ditinggalkan di saat paling rapuh membuat Aira mulai meragukan segalanya—termasuk dirinya sendiri. Ia bertanya-tanya, apa ada yang salah dalam dirinya? Apa ia tidak cukup baik? Tidak cukup berharga untuk diperjuangkan?
Di tengah kehancuran itu, aku mencoba untuk tetap bertahan. Namun, semakin berusaha, semakin aku merasa kehilangan diri sendiri. aku ingin marah, ingin menyerah, ingin menghilang sejenak dari semua hal yang membuatnya sesak. Tapi pada saat yang sama, di dalam hatiini yang paling dalam, aku masih ingin percaya. Masih ingin berharap bahwa semuanya bisa berubah.
"Kadang, kehilangan adalah cara semesta mengajarkan bahwa kita bisa berdiri sendiri."
Saat dunia terasa gelap, aku bertemu dengan orang-orang baru—orang-orang yang tidak mencoba memberi janji, tetapi memberi kenyataan. Lewat mereka, aku perlahan mulai belajar bahwa kebahagiaan tidak seharusnya bergantung pada orang lain. Bahwa harapan terbesar bukan datang dari mereka yang mungkin akan pergi, tapi dari dirin sendiri yang memilih untuk terus melangkah.
Namun, memahami bukan berarti mudah menerima. Karena meskipun hatiku tahu bahwa berharap pada manusia sering kali berujung pada kekecewaan, aku tidak bisa begitu saja menghapus perasaan yang selama ini tumbuh dalam diri. Tidak bisa begitu saja mengabaikan harapan yang pernah aku pelihara dengan sepenuh hati.
"Berharap bukanlah hal yang salah, yang salah adalah ketika kita menggantungkan hidup kita pada orang yang tidak ingin tinggal."
aku saatini berdiri di persimpangan. Haruskah aku menguatkan hati dan berjalan sendiri, tanpa lagi bergantung pada orang lain? Atau haruskah aku tetap membiarkan diriku berharap, meski tahu bahwa harapan selalu datang dengan risiko kehilangan?
Sebuah kisah tentang kehilangan, tentang harapan, dan tentang bagaimana manusia belajar bertahan. Karena pada akhirnya, bukan tentang berharap pada siapa, tapi tentang bagaimana kita menerima kenyataan—dengan atau tanpa mereka yang kita cintai.