Mata Sukmawati kosong, ia sedang disuapi Bara, ia memang bisa berinteraksi, tapi isi interaksinya adalah menanyakan keadaan Syafril. Bara, Tutik dan suami Tutik, Budi, juga para perawat salah tingkah setiap Sukmawati menanyakan keadaan Syafril pada mereka, sudah kesepakatan mereka akan mengarang cerita tentang keadaan Syafril, jauh dari yang sebenarnya, tapi karangan akan ketahuan jika cerita tidak konsisten. Seorang suster pernah salah omong, membuat Sukmawati curiga, semuanya sempat panik, untungnya kecurigaan itu hilang setelah suster tersebut mengaku menyebut Syafril yang lain, yang kebetulan namanya sama.
Bara menyuapi ibunya yang makan lahap karena dibohongi kalau Syafril sudah pulih meski harus diisolasi selama 2 minggu, tiba-tiba telepon Budi berdering, Budi mengangkatnya.
"Oh, Angel. Bentar. Ini Bara." Budi menyerahkan handphonenya pada Bara.
Handphone Yanto dan sekeluarga memang hanya satu, handphone itu dipakai bersama, Bara pun bila di sekolah sering meminjam handphone teman-temannya untuk menghubungi keluarga bila ada keperluan, kadang ia meminjam handphone Bani yang merupakan sahabat dekat Bara. Handphone keluarga diputuskan ditinggalkan pada Angel karena di rumah sakit ada Tutik dan Budi yang masing-masing memiliki handphone, sedangkan di rumah handphone hanya ada satu dan tidak ada siapa-siapa, karena Bara tentu ada di rumah sakit menjaga Sukmawati, jadi Bara memutuskan handphone dipegang oleh Angel.
"Iya, Njel. Kamu tidur aja, besok juga kamu harus sekolah, biar kaka aja yang izin." Ucap Bara menjawab suara Angel di telepon.
"Kamu kan total izinnya sudah dua minggu gara-gara sakit waktu itu." Tambah Bara
"Nggak, Njel. Maksud Bang Bara itu nanti kalo kamu izin lagi takutnya pengaruh ke penilaian para guru di sekolah." Tambahnya.
"Memang guru-gurunya baik Njel, tapi gak semuanya begitu. Dalam hati orang siapa tahu." Tambah Bara lagi.
"Udah, ya. Kalau cemas kamu istirahat tidur aja. Udah, ya." Tambahnya lagi sambil menutup telepon.
Bara mengembalikan handphone pada Budi, Tutik pun bertanya pada Bara saat handphone berpindah tangan pada Budi.
"Angel pengen jaga Sukma ya, Bar?"
"Iya, te." Bara menjawab sambil lanjut menyuapi Sukmawati.
"Emang gak papa kalau kecemasan itu ditinggal sendiri?" Tanya Tutik.
"Saya gak tahu sih, te. Cuma semoga aja baik-baik aja." Bara menjawab sambil meletakkan piring berisi nasi tim yang sudah habis di meja.
"Apa Ajeng aja yang kesana sekarang? Dia besok libur. Mumpung libur." Tawar Tutik.
Bara diam sejenak lalu berkata:
"Oh, Ajeng lagi libur? Maaf banget kalau ngerepotin. Iya, kayaknya Angel harus dijaga, makasih banyak tante."
Ajeng sebetulnya bila ditilik dari silsilah keluarga adalah adik Bara, namun usianya 5 tahun lebih tua, Ajeng berkuliah di jurusan manajemen ekonomi, sudah semester 4, anaknya memang tidak begitu cantik, namun keramahannya kadang membuat Bara yang sepupunya sendiri kadang merasa jatuh hati.
Tutik pun langsung menelepon Ajeng, telepon sempat tak tersambung beberapa saat kemudian berhasil tersambung, ia berbicara beberapa saat pada Ajeng di telepon, berkali-kali Tutik berkata "Halo... Halo" Bara yang memperhatikan berpikir bahwa sinyalnya jelek, tapi hanya Ajeng dan beberapa temannya yang saat itu ada di sebuah warung remang-remang yang tahu fakta sebenarnya.
Pada saat ditelepon Ajeng sedang pesta sabu di sebuah warung remang yang merupakan milik salah satu teman kuliahnya, Ajeng menjadikan sabu pelarian karena Tutik dan Budi terlalu sibuk mengurus toko grosir kain sari, uang dan kebutuhan memang sangat lebih dari cukup, biaya dan kebutuhan kuliah Ajeng memang selalu diutamakan, pembayaran selalu dilakukan diawal, bahkan kecuali untuk biaya lain-lain, biaya kuliah untuk semester 4 Ajeng sudah lunas, tapi bukan itu yang diinginkan Ajeng, Ajeng ingin kasih sayang dan perhatian orang tuanya, bukan hanya mencukupi kebutuhan, jarang berbicara karena kesibukan, Ajeng sesekali mendambakan tidur sambil dipeluk ibunya, ia ingin jarak antara ia dan orang tuanya terpangkas sampai hilang. Ajeng merasa hal yang berharga bagi dirinya yaitu perhatian orang tua terhalangi jarak yang lebar akibat kesibukan Tutik dan Budi.
Ajeng memang terlihat ramah dan mudah tersenyum di hadapan keluarga besar, tak satupun keluarga besar yang tahu Ajeng mengidap depresi karena merasa kurang perhatian dari orang tuanya, nilainya pun bagus dan dianggap salah satu siswi berprestasi dan paling berbakat di kampusnya, pun yang tahu depresi Ajeng adalah beberapa teman-teman kuliahnya yang justru memanfaatkan, pemuda-pemudi yang Ajeng anggap teman tersebut menjerumuskan Ajeng untuk menjualkan berbagai obat yang seharusnya dengan izin dokter pada seorang pengedar bernama Prakoso, Prakoso sendiri akan kembali menjual obat-obatan dengan harga 800 ribu persatu strip atau 950 ribu untuk Alprazolam, padahal Prakoso adalah jenderal berbintang dua di Mabes Polri.
"Adek gue ternyata punya kecemasan, bisa gak gue utang dulu buat 1 strip Alprazolam? Besok gue langsung lunasi. Lu tau emak bapak gue duitnya banyak 'kan. Lagi cuma pegang 425 sisanya buat lain-lain." Pinta Ajeng memelas pada salah satu teman laki-lakinya.
Teman laki-laki Ajeng bernama Pras yang sedang setengah teler dengan entengnya berkata "Bisa" sambil membuka tasnya kemudian mengambil satu strip Alprazolam dan menyerahkannya pada Ajeng.
"Makasih." Jawab Ajeng sambil berlalu pergi.
"Eh lu mau kemana? Pesta belum kelar." Tanya Pras sambil setengah teler.
"Mau jagain sepupu gue." Ajeng membalas sambil berjalan sempoyongan karena masih dalam pengaruh sabu.
"Elu masih sempoyongan, gimana nyetir mobil lu?!" Teriak Pras yang melihat Ajeng sudah agak jauh.
"Gue jalan kaki!" Jawab Ajeng dengan suara tak kalah keras.
"Gila." Pras yang juga masih teler merespon jawaban Ajeng sambil menunduk dan cengengesan.
***