Angel sedang menyetrika baju di rumah keponakan Emak Sofiah, yaitu Beni, sejak tadi Angel merasakan kejang di tubuhnya, hal tersebut aneh, sebab ia tidak mencemaskan hal apapun sebelumnya, ia yang sudah kadung bekerja di tengah jalan merasa tidak enak jika tiba-tiba berhenti, selain itu sayang rasanya, ia sudah mengepel lantai, mencuci baju, kalau Angel berhenti sekarang sesuai pengalamannya ia tidak akan dibayar, sebab pernah dulu, saat sedang bekerja di rumah Sapi'i yang juga keponakan Emak Sofiah, Angel sudah bekerja segala macam, tapi karena ada gangguan kabar terserempetnya Bara oleh motor, Angel pun menghentikan kerjanya, buntutnya ia tidak dibayar.
Kejang yang dirasakan Angel semakin kuat, akibatnya ia semakin hati-hati menyetrika, di dalam kepalanya ada rasa cemas, bagaimana jika pakaian yang disetrika gosong? Bagaimana jika pakaiannya berlubang? Mau ganti uang dari mana sedangkan Angel tidak bawa uang? Angel terus menyetrika meski rasa kejang yang entah datang darimana itu terus menyertai.
Setelah empat puluh lima menit menyetrika pun selesai, pakaian yang disetrika juga sudah sekaligus dirapikan, Angel merasa bersyukur meski kejang ditubuhnya masih terasa kuat pekerjaan bisa diselesaikan. Beni mendatangi, merasa senang Angel sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, uang 200 ribu ia keluarkan dari dompetnya.
"Ini ya, Njel. 200 ribu untuk kerja hari ini." Ucap Beni sambil memberikan uang tersebut pada Angel.
Angel melamun, ia tidak menyadari Beni mengajaknya berinteraksi dan menyerahkan uang 200 ribu rupiah padanya.
"Njel."
"Angel!"
Beni memanggil-manggil Angel.
"Njel!" Beni, pemuda berusia 20 tahun tersebut menepuk pundak Angel yang tentu mengejutkan Angel.
"Hah? Iya?" Angel kaget.
"Ini bayarannya." Beni menunjukkan uang 200 ribu pada Angel.
Angel hanya bisa berterima kasih, tubuhnya masih merasakan kejang kecemasan yang kuat, lagipula sekarang sudah pukul setengah 6 sore, Angel merasa mungkin Yanto dan Syafril merasa kelaparan karena belum makan sama sekali, Angel belum sempat pulang dan berpikir mungkin Ida dan Sulastri tidak sempat memasak seperti yang terjadi beberapa kali karena selesai pulang sekolah Angel langsung menuju rumah Beni, Angel mengkhawatirkan kemungkinan Yanto dan Syafril yang kelaparan.
Angel buru-buru pulang, jarak rumah Beni ke rumahnya sekitar 5 menit, ia harap-harap cemas dengan kondisi ayah dan adiknya.
Angel buru-buru membuka pintu, tidak ada siapapun, hanya ada suara orang mencuci piring di belakang, Angel melihat ke belakang, dilihatnya Yanto sedang mencuci dua piring dan gelas, juga ada wajan yang sudah dicuci, bau menyengat mie nyemek pun masih tercium jelas. Angel membuka rice cooker, dilihatnya sudah ada nasi meski agak berkurang.
"Bapak yang masak?" Tanya Angel
"Iya. Bapak kan sudah dapat pelatihan di panti. Jangan samakan bapak dengan yang dulu." Jawab Yanto sambil menunjukkan ekspresi lucu.
"Tapi, Njel..." Ucap Yanto tiba-tiba yang dibalas "Apa, pak?" oleh Angel.
"Syafril dikasih mie gak papa 'kan?" Tanya Yanto.
"Iya. Gak papa, pak. Seringnya juga mie, kok." Jawab Angel.
"Oh. Kirain ada pantangan." Jawab Yanto sambil lanjut mencuci piring.
"Pak, saya istirahat dulu, ya. Nunggu Maghrib." Ucap Angel yang dibalas anggukan kepala Yanto.
Angel merasa terengah-engah, ia merasakan kejang, memang kejangnya sama seperti yang sebelum-sebelumnya, tapi tetap saja yang namanya sakit pasti rasanya tidak enak, Angel menarik nafas kemudian mencoba tertidur, meski kejang kecemasan seolah menindih dirinya dan membuatnya tidak berdaya.
Baru beberapa detik mencoba beristirahat Angel terbangun, ia sadar ia belum minum obat, segera Angel bangkit dari ranjangnya, dan mengambil obat kecemasan untuk ia konsumsi, ia pun berniat kembali beristirahat memejamkan mata sampai adzan berkumandang, tapi belum sampai Angel memejamkan mata adzan Maghbrib sudah terdengar, meski dengan rasa kejang kecemasan yang luar biasa, Angel mengusahakan diri untuk bangkit mengambil wudhu lalu shalat Maghrib, tak lupa ia mengajak Yanto untuk shalat berjamaah.
Tapi tak didapati ayahnya itu, kemudian Angel melihat Yanto berada di teras rumah lewat jendela, Angel melihat Yanto memakai baju koko, kumisnya pun sudah dicukur bersih, Angel segera menghampiri ayahnya.
"Mau shalat berjamaah di masjid, pak?" Tanya Angel.
"Iya. Tapi bapak cukur kumis dulu, takutnya dikira masih Yanto yang dulu." Jawab Yanto yang membuat kejang kecemasan Angel makin menjadi, sebab takut jika ayahnya dihakimi para tetangga akibat masa lalu kriminal yang dilakukannya, apalagi Yanto melakukannya kepada buah hatinya sendiri.
"Bener, pak. Gak papa ke masjid? Bapak 'kan..." Kejang kecemasan Angel makin kuat.
"Kalau bapak dipukuli pun, itu sudah takdir. Sudah garis ketetapan." Jawab Yanto, mencoba menenangkan Angel, bahwa segala sesuatu sudah tertulis.
"Bapak berangkat dulu, ya. Assalamualaikum." Lanjut Yanto sambil berlalu pergi.