"Bar. Kalo ada apa-apa cerita sama ibu."
Begitulah Sukmawati membuka kata-kata sambil menunjukkan surat rujukan Bara ke Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto.
Bara menarik nafas panjang, kala itu sudah pukul 11 malam, Angel dan Yanto sudah terlelap sedangkan Syafril masih terjaga dan sebetulnya mendengarkan, tapi karena kesalahpahaman keluarga pada remaja tersebut, Sukmawati jadi seolah berpikir tidak ada yang mendengar pembicaraannya dengan Bara.
"Gimana ya, bu."
"Kalo nanti aku cerita yang lain malah makin stress."
"Angel aja kejangnya udah kayak gitu."
"Belum bapak sering depresi berat. Jedotin kepala pas lagi mandi."
"Syafril lebih sering aku liat reaksi murungnya."
"Dan ibu juga, aku liat dari pancaran matanya kayak selalu sedih banget."
Ungkap Bara.
"Tapi kan gak bisa gitu juga."
"Kamu juga harus peduli kesehatan mental kamu, Bar."
Nasihat Sukmawati.
"Kita bicara empat mata besok aja ya, bu."
"Kebetulan kan besok Bara giliran libur."
"Sekarang sudah jam 11 malam. Lebih baik tidur."
Ucap Bara yang dibalas anggukan serta kata "Iya, Bar." Oleh ibunya tersebut.
Sukmawati tahu bukan waktu larut yang menjadi alasan Bara menghentikan percakapan dengan dirinya, tapi ia tahu betul sang anak mentalnya sedang terserang sekarang.
Sebagai orang yang waspada pada gangguan kejiwaan karena telah mengalaminya, Sukmawati mengerti betul pasti Bara akan melakukan pencegahan agar dirinya tidak makin terperangkap depresi. Sukmawati pun akhirnya mendapat jawaban atas tingkah hati-hati serta seimbang anaknya tersebut pada keluarga dan pekerjaan.
***
Pagi itu seperti biasa di kediaman Angel dan keluarganya sedang sibuk aktivitas pagi, Angel bersiap untuk berangkat tapi saat itu, sebelum berangkat, seperti biasa, ia membantu Sukmawati membungkus kue donat, donat warna-warni itu mereka taruh di sebuah plastik dengan label Donat Ibu Sukmawati.
Syafril sedang dimandikan Bara, seperti biasa, supaya tidak menyusahkan kakaknya, Syafril yang biasanya dimandikan bergantian antara Yanto dan Bara itu pun tenang ketika dimandikan.
Sedangkan Yanto sudah sejak pagi-pagi sekali berangkat, toko kue milik Ajeng kembali kedatangan orang besar yang menjadi pelanggan, kali ini adik kandung seorang menteri. Sejak jam 3 pagi Yanto sudah mandi kemudian berangkat tepat pukul 4 subuh.
"Sholat subuhnya bagaimana, pak?" Tanya Sukmawati.
"Oh beres, bu. Kayak gak tau tokonya Ajeng aja."
"Ada ruang mushola."
Jawaban Yanto tersebut membuat tenang Sukmawati.
Meski pada dasarnya sebenarnya ada yang disembunyikan antara Yanto dan Ajeng berkaitan dengan bisnis pornografi yang suatu saat terbongkar dan akan membuat hubungan keluarga pecah terutama menyebabkan rasa amat sangat sakit hati dari Sukmawati nantinya, tapi itu tidak akan dibahas secara mendalam dalam bab ini.
Angel berpamitan berangkat, ia mencium tangan Sukmawati, Bara dan Syafril.
Angel sangat sadar meskipun lumpuh dan sama sekali tidak bisa bergerak Syafril tetaplah kakaknya yang ia hormati dan juga sayangi, oleh sebab itulah Angel pun tetap mencium tangan saudaranya yang berusia lebih tua 15 bulan tersebut, seperti biasa saat dicium tangannya Syafril menunjukkan reaksi positif.
"Assalamualaikum, berangkat, bu, Kak Bara, Kak Syafril.
Yang dijawab "Wa'alaikum salam." Oleh Bara dan Sukmawati serta sedikit anggukan oleh Syafril.
Kini di rumah tinggal Sukmawati, Bara dan Syafril. Sukmawati dan Bara merasa aman untuk bicara empat mata, mereka kembali tidak menyadari bahwa Syafril meski tubuhnya tak bisa bergerak dan ia tak dapat berbicara, tapi indera lainnya masih berfungsi.
Syafril tak pernah diperiksakan kondisi tubuhnya yang lain karena gaji dari Bara dan Yanto serta uang dagang Sukmawati untuk sehari-hari dan sisanya untuk biaya kuliah Angel.
Sedangkan uang sumbangan dari para donatur dulu meski besar hanya cukup untuk biaya pengobatan sampai pemulihan, sebenarnya jika Tutik, Budi atau Ajeng tahu mereka pasti akan dengan senang hati membantu, tetapi Angel dan keluarganya merasa tidak enak, pun Syafril tidak akan setuju ia diperiksakan dengan uang tante, om serta sepupunya tersebut.
Di dalam batin Syafril sendiri ia masih merasakan beban dan hutang budi pada orang-orang yang telah memberikan sumbangan sehingga ia kini masih bisa bernafas, dan itu membebaninya.
Bukan karena beban ingin mengganti uang sumbangan tapi beban karena ia tak bisa mengucapkan "Terima kasih." Dengan mulutnya sendiri.
Ia juga merasakan rasa mengganjal pada keluarganya yang merawatnya dimana karena lagi-lagi tak bisa mengucapkan "Terima kasih." pada mereka.
Syafril tentu ingat semalam ia mendengar ibu dan kakaknya hendak bicara empat mata, di tengah diam tanpa kehendaknya itu ia menarik nafas, berharap tidak ada adu argumen antara ibu dan kakaknya itu, apalagi Syafril sangat tahu secara mental keduanya sedang tidak stabil, apalagi Bara yang selama ini ketidakstabilan mentalnya ditutupi rapat-rapat sehingga secara psikologis menjadi makin berat.
***
"Bar, kalo ada apa-apa cerita."
"Keluarga ini sudah melek kesehatan jiwa."
"Gak akan ada yang ngejauhin atau ngetawain kamu kalo kamu cerita,."