Tidak seperti biasanya keluarga kecil Tasha makan malam bersama di sebuah meja yang sama. Memang hari itu adalah ulang tahun Darmanto, tapi sebelum-sebelumnya hari kelahiran pria paruh baya tersebut tidak pernah dirayakan.
Banyak hal yang mereka obrolkan di meja makan malam itu, tapi ada satu topik yang mereka hindari, yaitu tentang Bara dan keluarganya, baik keluarga Bara pribadi maupun berkaitan dengan Tante Tutik. Secara psikologis mereka sudah sama-sama paham tanpa diperingatkan terlebih dahulu, bahwa itu akan mengganggu mental Tasha, termasuk Marsha, yang sebenarnya dari luar terlihat kekanak-kanakan namun dari dalam ia sebelas dua belas dengan Angel di masa anak-anaknya, sebenarnya itu disebabkan oleh Darmanto, syukurnya Marsha tak pernah merasa mendendam, meski ia merasakan masa kanak-kanaknya tidak sama dengan yang lain dan masih merasa menyalahkan diri karena sang ibu tewas setelah melahirkannya.
"Ya, gitulah. Jaga tol emang boring."
"Kemarin rame emang."
"Tapi yang lewat gitu-gitu aja."
Ujar Andre sambil menggaruk pundaknya yang gatal.
"Tadi juga adem ayem. Gak ada apa-apa."
Lanjutnya.
"Kilometer Cipularang itu beneran angker kan, Ndre?"
Tanya Tasha.
"Iya. Bahkan sekarang Mbok Darmini ngikutin kamu, Sha."
"Mbok Darmini itu ngerasa berterimakasih karena dulu waktu dia mau meninggal kecelakaan di Tol Cipularang aku yang berusaha anter ke rumah sakit."
"Tapi mau gimana lagi."
"Takdir harusin Mbok Darmini meninggal."
Jawab Andre dengan raut sedih.
"Dan karena ada kemiripan wajah sama kamu, jadi dia ikutin kamu sekarang."
Lanjutnya.
"Hah!? Yang bener, Ndre." Tasha ketakutan, ia merinding.
"Coba liat ke lemari."
"Liat kaca lemari."
"Biasanya dia bakal kepantul disana."
"Lambai-lambai tangan ke kamu."
Jawab Andre mengerjai.
Marsha yang ikut mendengar tidak berani melongok ke lemari kaca, ia ketakutan setengah mati, ia berkata ia ketakutan, membuat Darmanto yang serius dan tidak bisa diajak bercanda itu memarahi Andre.
"Andre! Kamu ini malah nakutin saudari sendiri."
"Maaf, pak."
Andre lirih meminta maaf.
"Minta maafnya jangan ke bapak. Ke Tasha sama Marsha." Saran Darmanto dengan nada agak tinggi.
"Iya, tuh. Minta maaf sini."
"Aku sih nggak takut, tapi kasian Marsha, dia yang takut."
Seloroh Tasha.
Andre pun kemudian meminta maaf pada Tasha dan Marsha juga mengungkapkan bahwa Mbok Darmini hanyalah karangannya belaka, Marsha pun sedikit lega meski ia masih sedikit merinding dan kemungkinan akan agak kesulitan tidur. Ya, meski memiliki kedewasaan melebihi anak seusianya, Marsha tetaplah bocah cilik pada umumnya, yang cepat percaya pada orang lain dan menganggap semua perkataan dari orang lain adalah hal yang benar.
Sedangkan Tasha yang sejak tadi sebetulnya memikirkan terus soal Bara berusaha untuk masuk ke dalam obrolan mereka, ia ikut ketawa ketika yang lain ketawa dan ikut bereaksi apapun sesuai yang keluarga kecilnya reaksikan, tapi begitulah, hati dan pikirannya masih tertuju pada Bara.
Ya, gadis tersebut memang amat mencintai Bara. Sampai saat ini pun ia bertekad tidak akan pernah mau menikah seumur hidup, kecuali Bara kembali dan menikahinya. Untung hal itu baru ada di dalam batin Tasha, ia belum menceritakannya pada siapapun, termasuk Darmanto yang tentu akan amat sangat sangat marah besar dengan keputusan putrinya tersebut.
Lalu keluarga kecil tersebut melanjutkan berbagai macam obrolan, dari yang serius sampai yang bisa dibilang sepele, tapi tetap, mereka tidak membahas Bara dan keluarganya ataupun juga membahas Toko Kain Sari Tante Tutik yang tentu akan membuat mental Tasha turun.
Tepat pukul delapan malam makan malam mereka pun selesai, acara makan malam tersebut ditutup dengan Darmanto yang mengucapkan harapan dan doa di usianya yang makin bertambah, ia yang berdoa pun diamini oleh Tasha, Marsha dan Andre karena mereka bertiga amat menghargai apa yang diharapkan oleh sang ayah dan juga mengharapkan itu benar-benar terwujud.
Makan malam kala itu, meski bertema ulang tahun, menunya sederhana, hanya sayur asem dengan kerupuk dan gorengan. Keluarga kecil tersebut memang sedang sulit secara ekonomi. Gaji Andre tertahan sudah tiga bulan dan Tasha baru saja keluar bekerja, sedangkan dari usaha menjahit Darmanto lebih banyak sepinya. Tapi mereka percaya bahwa akan datang masa dimana keluarga kecil mereka yang berharga itu akan menemukan kebahagiaan dalam kesejahteraan.
***
Marsha menonton televisi sambil rebahan, begitu pun Andre dan Tasha ada di belakang gadis cilik tersebut, ikut menonton. Kali ini sedang ditayangkan sebuah film aksi, mereka menontonnya di sebuah saluran televisi swasta. Marsha asik menonton kemudian sesekali bertanya layaknya anak seumurannya yang masih amat penasaran dengan segala sesuatu.
Andre dan Tasha pun berusaha menjelaskan sebisa yang mereka tahu, kadang jawaban mereka justru memancing tanya yang lebih besar dari Marsha, yang terkadang berakhir dengan tawa keras atau terkadang dengan perdebatan kecil. Darmanto yang sedang menjahit kadang memperhatikan dengan kedua telinganya, ia bersyukur keluarga kecilnya tersebut masih diberi kerukunan meski secara ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
Sebab selain Tasha yang keluar dan gaji Andre yang tertahan, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya sekarang yang meminta untuk dijahitkan pakaian pada Darmanto sudah amat jarang, karena kebanyakan memilih pakaian jadi, memang jika musim pernikahan atau acara kelulusan sekolah terutama wisuda, Darmanto banjir orderan, tapi itu tidak setiap hari dan hanya di waktu-waktu tertentu saja.
Sambil menjahit Darmanto menghisap rokoknya dalam-dalam, menerawang ke dalam hati sanubarinya, tentang akan seperti apa keluarga kecilnya nanti di masa depan, rasa pesimis muncul di tengah optimisme yang sedang berusaha untuk dibangun demi menjadi bangunan yang amat kokoh dan kuat.
***
Tasha terbangun, ia kesiangan, dilihatnya jam di dinding sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi, ia yang lupa bahwa dirinya sudah keluar kerja dari Toko Kain Sari Tante Tutik segera bergegas, ia pun protes pada Darmanto yang sedang menonton berita pagi di televisi,
"Bapak gimana, sih?"
"Tasha telat, nih."
"Duh, harusnya habis sholat subuh gak tidur lagi."
Protes pada Darmanto dan keluhan keluar bersamaan dari kerongkongan Tasha.
Dengan santai Darmanto menjawab,
"Bukannya kamu udah keluar dari toko kain sari, Sha?"
"Dan semalem kamu bilang kamu hari ini mau fokus bikin CV."
Jawab Darmanto, menyadarkan Tasha bahwa dirinya sudah keluar dari toko kain sari dimana ia sudah bekerja disana sejak usia yang sangat belia, tepatnya setelah lulus SMA.
"Oh, iya. Lupa, pak.
"Sekarang Tasha mau mandi dulu, terus habis itu bikin CV."
Tasha menjawab sambil cengengesan kemudian berlalu, Darmanto pun merespon,
"Masih muda udah pelupa."
Pria yang kerutan di wajahnya makin terlihat jelas itu pun kembali menonton sajian berita yang sedang tersaji di televisi.
***
Tasha hanya bengong, ia menatap langit-langit kamarnya, ia belum terpikir tentang Bara, pikiran yang akan memenuhi pikirannya tidak lebih dari setengah jam dari sekarang yang akan terus menghantuinya sepanjang hari.
Ia sudah membuat lamaran, tapi agak ragu dengan lamarannya, faktanya gadis tersebut baru bekerja di satu tempat dalam sepanjang hidupnya, yang tak lain adalah Toko Kain Sari Tante Tutik, makanya saat menulis CV, ia sama sekali tidak percaya diri.
Sebenarnya ada satu tempat yang tentu akan menerima ia bekerja dengan senang hati, yaitu toko kue milik Ajeng, tapi itu sama saja keluar dari pintu depan masuk lagi dari pintu belakang, lagipula Tutik selaku ibu dari Ajeng tahunya Tasha sudah diterima bekerja di perusahaan favoritnya yang nyatanya hal itu adalah kebohongan semata.
Andre mengetuk pintu, ia yang hari itu dapat jatah libur pun langsung masuk ke kamar kakaknya. Ia berkata dengan setengah berbisik,