Dengan sedikit rasa menahan kejang kecemasan disebabkan kurang istirahat, Angel menunggu antrian untuk memeriksakan diri ke psikiater nya, psikiater yang memiliki nama yang sama dengannya, psikiater tersebutlah yang juga menjadi faktor penyemangat Angel agar dirinya pulih.
Sebab seperti banyak nama-nama yang bagi banyak orang hebat, Bu Angel, sang psikiater, konon dulu hidup amat susah, lebih susah daripada siapapun termasuk sang protagonist utama dalam novel ini yang juga amat kagum pada psikiater tersebut, konon pernah selama 3 minggu kala waktu kecil ia dan keluarganya hanya makan dengan nasi yang direndam air, bukan air hangat, tapi air dingin, dan itupun perorang hanya dijatah tiga suap, konon kala itu Bu Angel tinggal bersama lima saudara dan saudarinya, tanpa orang tua dan tinggal di rumah budhe mereka yang mengalami gangguan jiwa dan hidup menjanda.
Rumor itu menyebar setelah Bu Angel mendapat gelar mahasiswi lulusan bidang psikologis terbaik sekitar 8 tahun yang lalu, ia tidak membenarkan itu, tetapi juga tidak menampiknya, ia hanya diam dan banyak yang percaya, termasuk Angel, bahwa itu adalah cara Bu Angel untuk memotivasi setiap orang-orang yang ingin bekerja dalam bidang kesehatan jiwa termasuk menjadi psikiater ataupun psikolog.
Sebab selama 8 tahun bekerja di bidang kesehatan jiwa, memang tak sedikit pasien Bu Angel yang kini menjadi seorang psikiater, psikolog, petugas kesehatan jiwa maupun penggiat kesehatan jiwa, salah satunya Lukman, penulis novel terkenal juga pemilik toko penerbitan terkemuka tersebut kini menjadi penggiat kesehatan jiwa dan sedang berbicara di depan para anggota dewan perwakilan rakyat membahas Indonesia 0 persen pasung serta bisa bebas sepenuhnya dari kesulitan penanganan gangguan jiwa. Angel sendiri dengan kecemasan kejangnya yang masih sedang menyaksikan itu di televisi yang ada di rumah sakit. Ada harapan membuncah dalam diri Angel, mendengar pidato Lukman.
"Dengan segala hormat tanpa menyinggung adat dan keyakinan bapak ibu."
"Itu tiap kali saya kunjungi orang dengan gangguan jiwa yang laporannya sampai pada saya."
"Mohon maaf ini, itu mengamuk karena merasa kurang dihargai, pak-bu."
"Orang marah ya didengerin omongannya."
"Lagi emosi didengerin dan sebisanya jika salah dinasehati dengan baik, penuh kesabaran."
"Kok ini belum pasti ketempelan jin udah panggil perukyah, dipanggil pengusir roh jahat, baik romo, pendeta, ustadz, orang pintar, dukun dan lainnya."
"Baru teriak-teriak, belum ditanya ada masalah apa udah dibacain ini itulah, diteriakin enyahlah wahai engkau prajurit kegelapan, yang padahal faktanya karena emosi saja, bukan karena kerasukan."
"Ya tambah ngamuk."
"Akhirnya, terjadi pasung lagi karena pihak keluarga mikirnya."
"Wah, jinnya terlalu kuat, roh jahat nya terlalu kuat."
"Jin darimananya? Roh jahat darimananya? Leak darimana nya?" Lanjut Lukman dengan nada sarkas.
"Pikiran orang-orang di sekitar ODGJ yang punya pikiran kalau si ODGJ kena rasuk roh jahat atau jin itu jin atau roh jahat nya sendiri!" Lanjut Lukman dengan nada tinggi menggelegar.
"Saya punya kejang, pak-bu." Lukman menurunkan tone suaranya, kini menjadi lembut.
"Dan saya rasa ada banyak ODGJ memiliki kejang kecemasan."
Angel sedikit terhenyak ketika mendengar hal tersebut, ia makin memperhatikan pidato Lukman.
"Kejang kecemasan itu memang rasanya. Aduh itu pak ketimbang ketabrak motor misal suruh memilih saya lebih memilih ketabraknya."
"Bukan saya meremehkan rasanya ketabrak."
"Tapi memang kejang kecemasan rasanya jauh lebih buruk daripada ketabrak."
"Saya pernah beberapa kali patah tulang kaki dan tangan."
"Biasa saja."
"Tapi patah mental itu, pak-bu "
"Rasanya... Karena saya Nasrani, saya hanya berdoa pada Tuhan Yesus hilangkan... Tuhan Yesus hilangkan kejang ku, terus saya tidur."
Tiba-tiba nama Angel dipanggil.
Angel pun merespon dengan tubuh yang masih merasakan kejang kecemasan, tapi ada sedikit rasa asa pada dirinya melihat pria bernama Lukman, Angel sering membaca novel Lukman di Kwikku, Angel juga tahu ayah Lukman yaitu Samsul juga punya sakit serupa, rasanya seperti kisah dirinya dan Yanto, sang ayah. Angel percaya penyintas seperti Lukman dan ayahnya, Samsul, akan bisa memberi perubahan bagi kesehatan mental ke arah yang lebih baik.
Tapi tidak ada yang tahu dengan arah emosi seorang penderita gangguan jiwa, mungkin kini Angel sedikit lebih tenang disebabkan pidato Lukman yang meski berapi-api tapi menyejukkan, tapi sebuah ingatan kecil akan membuat jiwa raga Angel terbakar habis dalam beberapa jam kedepan setelah Yanto pada akhirnya tak bisa menjemputnya karena kesibukan.
Bukan salah Bu Angel dalam membimbing Angel, yang tentunya sudah terbukti pernah sukses membimbing Lukman, Samsul dan yang lainnya. Tapi karena memang sudah sejak semalam, setelah Angel terbangun dan tidak bisa tidur lagi sejak dini hari, jiwanya kembali mendapatkan masalah hingga kejang kecemasan datang menyertainya sejak waktu tersebut bahkan hingga sampai saat ia akan menkonsultasikan keadaannya.
Rasa yang amat tak enak itu masih setia mengiringi, tapi Angel berusaha menyembunyikan keresahan hati yang seharusnya ia ceritakan pada psikiaternya saja yang tentu sudah disumpah untuk kerahasiaan pasien. Memang Angel tidak menceritakannya pada orang yang salah, tapi tiap orang pasti punya khilaf, termasuk dalam menjaga rahasia.
***
"Apa kabar Angel?" Begitulah sapaan dari Bu Angel setiap bertatap muka dengan gadis yang memiliki nama yang sama dengannya itu. Diiringi senyum ramah, gestur dari Bu Angel sendiri menunjukkan sesuatu yang hangat, yang tidak mengintimidasi.
Bu Angel tahu bahwa pasien yang kini dihadapannya tersebut sedang kumat, hal itu ia lihat dari sorot mata Angel yang tidak fokus.
Bu Angel sadar berbasa-basi bukanlah pilihan bijak saat itu, jadi ia langsung mempersilakan Angel untuk duduk, ia pun tak langsung menanyakan masalah apa atau keluhan apa yang akan dikeluhkan gadis yang sama-sama menyandang nama Angel tersebut.
"Angel kesini dianter bapak ya, tadi?" Tanya Bu Angel sedikit membuka percakapan dengan gadis di hadapannya.
"Iya, bu." Jawab Angel.
"Bapak gimana? Sudah mulai baikan?" Tanya Bu Angel lagi.
"Hm... Anu... Alhamdulillah, lumayan baik." Jawab Angel.
Bu Angel sangat mengerti jawaban Angel tersebut mengisyaratkan bahwa sekarang Yanto tidak baik-baik saja, ia pun mencoba mengalihkan pertanyaan secara halus,
"Tadi perjalanan kesini waktu diantar bapak capek, ya?" Bu Angel bertanya sambil tetap memasukkan Yanto ke dalam obrolan agar Angel tidak menyadari psikiater tersebut mengganti topik secara halus.
"Iya capek, bu." Jawab Angel dibarengi nafas mengeluh.
"Gak papa. Itu wajar." Jawab Bu Angel.
"Olahraga jalan pagi rutin 'kan?" Tanya Bu Angel.