Berharga

Rere Valencia
Chapter #29

Dari Sudut Pandang Putra Bungsu

"Ya'Allah, pengen banget rasanya bantu keluarga."

"Tapi aku gini Ya'Allah."

"Aku gak bisa apa-apa."

"Sampe bang Bara pergi pun aku gak bisa apa-apa."

"Hamba mu ini betul-betul gak kuat Ya'Allah."

Syafril melamun, dibayangkannya kejadian di masa lalu, dimana ia mendapati Bara hendak pergi dari rumah. Kala itu sebetulnya Syafril terjaga, ia pura-pura memejamkan mata saat kakak lelakinya tersebut coba memastikan ia tidur atau tidak, meski saat itu ia berpikir jika Bara mendapati bahwa Syafril memergoki dirinya pun tidak ada gunanya, ia jelas lumpuh, mau berkata-kata saja sulit, apalagi berteriak kakak sulungnya akan kabur dari rumah.

Syafril merasa tak berguna, setiap hari ia hanya bisa menyaksikan kemalangan demi kemalangan yang menimpa ibu, ayah serta saudari saudaranya, hingga akhirnya kini hanya tersisa dua orang yang menemaninya, Angel dan Sukmawati.

Selain Bara sudah pergi kini Yanto kemungkinan besar masuk penjara, sehingga hanya ibu dan adik perempuannya lah yang akan menemani hari-hari dirinya yang bagi Syafril sendiri seperti parasit. Ya, Syafril merasa dirinya sebagai seorang parasit.

Sebagai seseorang yang merasa dirinya parasit, Syafril sangat amat membenci dirinya sendiri, ia selalu ingat kejadian sehari-hari ketika Sukmawati membungkus donat sendirian ketika Angel tak bisa membantu saat sedang mengerjakan tugas sekolah atau sedang kumat kejang kecemasannya.

Ia ingat ketika Sukmawati menangani sendiri Angel yang sedang kejang padahal saat itu keadaan rumah sangat kacau, Chiki dan Maru belum diberi makan, sampah yang belum selesai disapu, donat yang belum terbungkus semua, air yang sedang digodog, semua ditinggalkan Sukmawati, karena Angel kejang berat.

Kala itu rasanya Syafril ingin membantu sang ibu, tapi kelumpuhannya menciptakan batas tembok tinggi yang tak mungkin ia lalui, ia ingin berteriak kenapa bisa dirinya diberi takdir yang kejam seperti itu, bukannya diwafatkan saja.

Kejadian-kejadian itu memang sudah sangat lama berlalu, tapi saat ini semua kembali masuk ke dalam kepala Syafril, menciptakan dirinya yang menyalahkan dirinya sendiri.

Tapi yang paling jelas terbayang adalah kepergian Bara. Kenapa waktu itu ia pura-pura tertidur saat Bara mencoba memastikan bahwa dirinya tidur atau tidak, meski itu percuma karena kelumpuhan dirinya, tapi seharusnya jika Syafril tidak pura-pura tidur setidaknya Bara mengurungkan niat karena Bara tentu tak ingin memberi Syafril perpisahan kejam seperti itu.

Angel baru saja pulang, tak lupa mengucap salam, Syafril membalas dalam hati karena kelumpuhannya. Dilihatnya adik perempuan sulungnya itu meletakkan tas, meski kini wajah Angel berseri-seri tapi ada rasa sesal dari Syafril untuk dirinya sendiri, yang tak mampu bantu-bantu Angel, setidaknya menaruhkan tas adiknya tersebut ke kamarnya, atau paling sederhana menyambut Angel kemudian sedikit berbasa-basi semisal memperbincangkan sedikit tentang hal-hal apa yang dilalui oleh Angel di sekolah. Tapi saat ini itu hanya mimpi.

Sekitar 15 menit Syafril memperhatikan Angel, dimana dilihatnya adik nya itu membangunkan Sukmawati yang terlelap tidur di depan televisi, apalagi kalau bukan demi menjaga Syafril, sesuatu yang bagi Syafril makin membuat dirinya sangatlah pantas disebut sebagai anak durhaka.

Selama beberapa menit kemudian didapatinya ibu dan adiknya tersebut shalat berdua, Sukmawati yang menjadi iman. Memperhatikan keduanya shalat, Syafril jadi merasa semakin tak berguna. Seharusnya ia yang jadi imam shalat, tapi tak bisa karena kelumpuhannya, hati Syafril menjerit, ia sakit hati pada Sang Pencipta karena ditakdirkan lumpuh sehingga tidak bisa jadi imam shalat, jangankan jadi imam shalat, untuk shalat biasa pun sangat mustahil.

***

Dari sudut pandangnya, Syafril merasa dunia baginya sudah selesai. Apa yang harus dilakukan seseorang ketika dunianya sudah selesai? Bukannya seharusnya membantu melengkapi hidup yang lain? Itulah pertanyaan-pertanyaan di benak dirinya yang merasa amat kesal dan menyesal sebab dirinya tidak berdaya.

Pecundang, itulah sebutan yang pemuda itu sematkan pada dirinya sendiri, seekor, bukan seorang, parasit yang hanya bisa hidup bergantung pada orang-orang yang ia sayang.

Hati Syafril sebetulnya sudah remuk redam, dengan sifatnya bagaimana bisa ia melihat keluarganya sengsara sedangkan dirinya hanya diam saja. Ia mengutuki, terus mengutuk mengutuk mengutuk mengutuk kelumpuhan dirinya.

Dirinya pun ingat ketika dulu di suatu malam sempat bocor besar, Yanto yang bisa dibilang sudah termasuk uzur naik genting, karena disaat itu Bara masih ada di Toko Kain Sari Tante Tutik karena kerja lembur. Syafril sendiri dilindungi Sukmawati supaya tidak terkena air yang bocor sedangkan Angel sibuk mengambil ember panci dan lain-lain agar air tidak menggenangi lantai.

Ia sempat melihat wajah lelah ayahnya yang baru saja pulang kerja tapi sudah harus memperbaiki genting, ia juga melihat kelelahan yang sama dari Angel karena adik perempuan sulungnya kala itu sebetulnya sedang kejang. Sedang untuk Sukmawati, wajah iba kepada suami dan putrinya membuat Syafril terenyuh kenapa bisa ibunya harus hidup dengan keluarga yang amat menderita seperti itu, perasaan itu kemudian menimbulkan perasaan kesal pada dirinya sendiri, kesal karena kelumpuhannya ia tidak bisa bergerak sehingga tidak bisa berbuat apapun. Sekedar menyemangati pun ia tak bisa. Perasaan Syafril kala itu sungguh benar-benar hancur. Remuk.

Rasa remuk dari hati Syafril bukan hanya kali itu ia rasakan, sepanjang hari, sepanjang hari sejak ia sadar dari komanya lalu diantar beramai-ramai ke rumah disertai sorotan dan flash kamera yang begitu menyilaukan. Ya, sejak saat itu hati Syafril remuk, remuk melihat keadaan keluarganya yang seolah tak henti-hentinya mendapat ujian dan ia hanya bisa diam saja.

Syafril melihat sang ibu sedang bertelepon, dilihat dari reaksi ibunda dari Angel, Bara, Syafril dan Intan tersebut nampak menangis, tapi bukan menangis karena ada hal buruk, tetapi dari reaksi cara menangisnya, Syafril menangkap bahwa ibunya tersebut mendapat kabar gembira.

"Bapak dibebaskan, Njel. Tante Tutik nanti dia minta ketemu sama ibu."

Ucap Sukmawati pada Angel, setelah itu dilanjutkan kata-kata "Alhamdulillah." Darinya, pun Angel yang mendengar juga mengucap kata syukur pada Tuhan yang maha esa tersebut dari dalam kamar.

Syafril pun mengucap alhamdulilah dalam hati, ia amat bersyukur ayahnya akhirnya dibebaskan. Ia tak bisa membayangkan jika ayahnya yang memiliki skizofrenia tersebut harus hidup dipenjara. Perihal obat psikiatrinya, lingkungan yang buruk, teman sesama napi yang bagi Syafril kebanyakan adalah kriminal yang tegaan, apalagi mereka rata-rata tidak teredukasi kesehatan jiwa. Intinya Syafril tak bisa membayangkan bagaimana seandainya jika ayahnya tersebut harus tinggal apalagi selama belasan tahun di lembaga pemasyarakatan.

***

Suasana rumah sepi, hanya Sukmawati yang berada di ruang tengah, menjaga Syafril. Angel berada di kamarnya sedang fokus belajar. Sedangkan Yanto sedang tertidur, mencoba menghilangkan kecemasannya yang kembali muncul semenjak terakhir ia rasakan saat setelah ia memukul kepala Syafril dengan tabung gas tiga kilo.

Ya, Yanto adalah tipe penderita gangguan jiwa yang sakitnya tidak diperparah dengan anxiety, hanya ada tiga kali dia mengalami gejala kecemasan akut, yang salah satunya adalah saat ini. Syafril memandang hal tersebut sebagai sebuah bentuk bahwa sebagai seorang penderita gangguan jiwa, sang ayah sangat tidak siap menghadapi hal yang menimpanya, karena jelas berkaitan dengan hukum.

Syafril bisa memahami perasaan ayahnya, sebab tiga peristiwa yang membuat Yanto anxiety parah berkaitan dengan hukum selain kasus dengan Ajeng juga tragedi yang menimpa Syafril dulu, putra bungsu dari Yanto dan Sukmawati tersebut juga tahu kejang kecemasan parah pertama Yanto adalah saat Yanto memukul perut Sukmawati yang saat itu sedang mengandung Intan.

Memang hanya Bara kecil yang menjadi saksi, tapi beberapa hari setelah Syafril pulang dari rumah sakit, entah mengapa tiba-tiba Yanto membuat pengakuan dosa pada putra bungsunya tersebut, ia menceritakan bahwa emosi yang ia rasakan saat memukul Syafril sama persis saat ia menghantam perut Sukmawati, rasa yang timbul setelah itu pun sama. Yanto menjabarkan bahwa kejang kecemasan lebih buruk daripada emosi negatif apapun.

Lihat selengkapnya