Waktu menunjukkan pukul 8 malam, suasana rumah kala itu sepi, Angel sedang menyuapi Syafril, ia tidak memperhatikan Syafril yang sedang disuapinya sesekali curi-curi pandang ke arah Sukmawati yang sedang menonton televisi.
Kemudian terdengar suara pintu diketuk, Sukmawati yang merasa dirinya sedang bersantai pun membukakan pintu, lagi-lagi Syafril melirik, dalam hatinya ia mengutuki dirinya sendiri,
"Gimana bisa?"
"Gimana bisa gue cuma berbaring?"
"Dikala ibu gue yang kayaknya capek banget itu bukain pintu buat tamu."
"Itu seharusnya jadi tugas gue."
"Gimana bisa gue,"
"Terus berbaring gini?"
"Gue bener-bener muak!"
Batin Syafril sambil terus disuapi oleh Angel, seorang gadis yang seharusnya ia ayomi sebagai adik justru kini melayaninya, melayani dikarenakan dirinya tak mampu untuk bergerak, bahkan untuk menggerakkan telunjuk kaki sekalipun.
"Eh, Rahma."
"Silakan masuk, Ma."
Suara sambutan dari Sukmawati mengejutkan baik Angel maupun Syafril, Angel terkejut dengan rasa heran kenapa sahabatnya tersebut mampir malam-malam, sedangkan Syafril terkejut karena ia tak menyangka akan ada orang lain lagi hari ini yang menyaksikan dirinya hanya bisa terbaring setelah tadi siang David bertamu.
"Eh, sini masuk, Ma."
"Maaf, aku nyuapin Bang Syafril dulu, ya."
"Ada perlu sama aku 'kan?"
Yang dijawab dengan anggukan oleh gadis yang kini memakai hijab berwarna biru dengan Bros berwarna biru muda di sebelah kanan ujung jilbabnya.
"Maaf agak lama, gak papa 'kan?
Angel mengucapkan itu karena baru kali ini Rahma bertamu ketika dirinya sedang menyuapi sang kakak bungsu, jadi dia perlu memberitahu bahwa menyuapi Syafril akan memerlukan waktu tak sebentar.
"Iya. Gak papa, Njel." Rahma merasa tidak masalah.
Tanpa sengaja gadis tersebut berkontak mata dengan Syafril, ia tahu pemuda itu menyimpan rasa tidak nyaman, Rahma bisa menebak rasa tidak nyaman itu adalah rasa dimana Syafril yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal Bara dan Yanto, malah kini menjadi orang paling merepotkan di rumah.
Secara reflek Rahma berusaha mengalihkan pandangan matanya pada hal lain, ia yang sering membaca buku psikologi tahu, terlalu lama berkontak mata dengan orang yang sedang merasa stress bisa memicu hal yang tak diinginkan dan perasaan negatif dari orang yang sedang merasa stress tersebut.
"Aku temenin ibumu nonton tivi dulu ya, Njel."
Angel pun membalas Rahma dengan "Silakan, Ma."
Kira-kira memakan waktu 40 menit untuk Angel selesai menyuapi Syafril, dan tadi, Rahma pun tahu sejak tadi Syafril mencuri pandang, bukan pada dirinya, namun pada Sukmawati, Rahma akhirnya tahu, sesuai yang ia pelajari dari buku psikologi, ada rasa merasa bersalah, karena tak mampu berbuat apa-apa, ketika sang ibu dan sang adik harus berjuang, demi agar keluarga bisa bertahan hidup, dan rasa merasa bersalah itu semakin membesar ketika dirinya yang harusnya menjadi tulang punggung kini malah selalu dilayani diakibatkan kelumpuhan.
Airmata pun menetes dari pipi Rahma, dan buru-buru ia melapnya, untung kala itu Angel masih sibuk dengan suapan terakhirnya pada sang kakak, sedangkan Sukmawati amat fokus menyaksikan acara kuis di televisi yang sesekali dibumbui komedi yang membuatnya kadang senyum-senyum sendiri. Kadang, kala Sukmawati senyum-senyum sendiri, Rahma diam-diam memperhatikan ada aura ketenangan dibingkai senyum kecil dari wajah Syafril.
"Aku cuci piring dulu ya, Ma."
Rahma yang sesekali curi-curi pandang pada Syafril pun menjawab "Iya."
Diperhatikannya Syafril diam-diam ketika tadi Angel mengucap kalimat " Aku cuci piring dulu ya, Ma." Seolah ada rasa penyesalan diri dalam raut wajah Syafril, yang dalam batin Rahma berbunyi, "Aku kan yang makan, kenapa Angel justru yang cuci piring?" Rahma pun hanya bisa mengucapkan"Ya, Allah." Di dalam hatinya.
"Ada apa, Ma? Tanya Angel.
"Main kesini jam segini, tumben." Lanjutnya.
Rahma menghampiri Angel, lalu ia bertanya,
"Sebelumnya, Bang Syafril bisa ditinggal sendirian aja 5 menitan gitu?"
Pertanyaan tersebut lalu dilanjut Rahma dengan kata-kata,
"Soalnya aku pengen ngomong sesuatu yang penting,"
"Dan kayaknya ibumu harus denger juga."
Penting banget ya, Ma? Tanya Angel yang dijawab anggukan oleh Rahma.
"Gak papa kalau ditinggal 5 sampe 10 menit, tapi nanti sesekali harus dilongok keadaan lewat jendela luar." Ucap Angel.
"Tunggu, aku ajak ibuku supaya kita bisa ngobrol di luar ya, Ma." Lanjut gadis yang kini sedang tidak menggunakan hijab tersebut.
Rahma mengangguk, kemudian ia memperhatikan sahabatnya yang sedang memberitahu dan mengajak ibunya untuk mengobrol bersama Rahma di luar. Lagi-lagi, lewat Rahma yang memperhatikan, nampak raut wajah Syafril yang kelabu, memperhatikan Sukmawati bangkit secara perlahan dibantu oleh Angel ketika berusaha menghampiri Rahma. Rahma hanya bisa menyebut, "Ya, Allah. Ya, Allah. Ya, Allah." Dalam hati.
Gadis tersebut sebetulnya sudah tidak kuat, ingin menangis atas keadaan Syafril, tapi berusaha ia kuat-kuatkan, sebab ia tahu, akan jadi masalah baru tersendiri jika dirinya menangis saat itu. Sebab jika ia menangis sebelum minimal sedikit memberitahu, bisa-bisa dirinya tidak bisa menjelaskan dengan kepala dingin.
"Yuk. Ke depan, Ma."
Ajakan dari Angel tersebut hanya dibalas anggukan oleh Rahma, sebab jika ia sedikit saja mengucap sesuatu seperti "Iya." Hatinya yang sedang tidak karuan dikarenakan oleh keadaan Syafril, akan tumpah lewat lelehan airmata. Rahma tahu dirinya akan menangis, tapi ia harus menahannya, paling tidak sampai ia selesai menjelaskan hal yang ia tahu tentang keadaan Syafril meski hanya sedikit.
***
"Duduk, Ma. Maaf gak dikasih tikar." Ucap Angel berbasa-basi.
"Gak papa, Njel." Balas Rahma.
Angel dan Sukmawati tidak tahu, bahwa dari langkah pertama sampai langkah terakhir Rahma berjalan, dari ruang tamu sampai ke beranda depan, ia berusaha menahan gejolak rasa ingin menumpahkan airmata.
"Maaf sebelumnya, Njel sama Bu Sukma, coba kalian lihat, ngintip dari sini keadaannya Syafril."
Angel bingung dengan ucapan Rahma yang meminta ia dan Sukmawati mengintip keadaan Syafril lewat jendela beranda.
"Untuk apa, Ma?" Tanya Angel.
"Iya. Untuk apa?" Sukmawati ikut menanyakan hal yang sama.
"Karena... Karena..."
Airmata Rahma pun tertumpah, ia sudah tidak dapat lagi menahan rasa perih yang sejak tadi menggerogoti hatinya.
"Astagfirullah, Ma. Kenapa nangis ?" Tanya Angel khawatir.
"Iya, neng. Ada apa?" Sukmawati pun ikut merasa terkejut dengan tangis Rahma yang seolah tiba-tiba itu.