Hari berikutnya kami menuju Kota Madinah. Jarak kota ini dari Makkah lebih kurang 500 kilometer. Saat itu belum ada kereta supercepat Al-Haramain yang bisa membuat waktu tempuh menjadi 90 menit. Kami naik bus bersama rombongan dan menghabiskan waktu sekitar 6 jam perjalanan.
Saya duduk di dekat jendela. Bus kami melaju di atas jalan tol yang mulus menembus gurun dan gunung. Rasanya seperti permadani panjang yang membentang menghubungkan kedua kota. Pemandangan didominasi gurun pasir tandus nan panas. Saya berpikir, saya duduk nyaman di dalam kendaraan ber-AC, tapi bagaimana rasanya Rasulullah Saw. dan sahabat beliau, Abu Bakar r.a., ketika hijrah dari Makkah ke Madinah naik unta berhari-hari di bawah terik matahari? Belum lagi mereka dalam kondisi dikejar oleh pasukan berpedang. Perjuangan inilah yang diabadikan menjadi awal Tahun Kalender Islam.
Elsa berada dalam bus yang sama. Terbayang, kan, rasanya menjadi saya? Ingin sekali duduk sebangku, tapi tak mungkin, tak etis. Rasanya ingin sesekali menengok ke arah kursinya, berharap dia pun tengah mencari-cari tatapan saya, lalu kami saling berpandangan sekejap dan tertunduk malu-malu.
Ah, Gi ... Gi ... demen banget ngayal kebangetan kamu?
Diam-diam saya tertawa dengan khayalan murahan itu, kemudian memfokuskan diri lagi dalam perjalanan menuju Madinah itu.
Sampai di Kota Madinah, kami masuk ke hotel untuk pembagian kamar, makan, dan bersiap-siap menuju Masjid Nabawi.
Ada perasaan yang berbeda saat masuk ke Masjidil Haram dan masuk gerbang pelataran Masjid Nabawi. Ketika masuk Masjidil Haram, saya diliputi kemegahan dan keagungan yang menakjubkan. Sementara itu, memasuki Masjid Nabawi memberikan perasaan tenteram, damai, dan keanggunan yang menyejukkan.
Kami melewati pelataran masjid yang sangat luas, melewati tiang-tiang cantik yang di atasnya berupa kanopi atau payung raksasa yang dapat membuka dan menutup bila dibutuhkan. Ini adalah payung kanopi raksasa terindah yang pernah saya lihat. Masjid Nabawi sendiri merupakan masjid yang sangat luas. Ia berbentuk persegi panjang dengan pusat perhatian sebuah kubah hijau kecil berpucuk ornamen emas di salah satu sudutnya. Kubah ini melindungi lokasi tempat pemakaman Rasulullah Saw. dan kedua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar ibn Al-Khaththab.
Madinah tak kalah rupawan dari Makkah. Aura kesejukan merasuki jiwa. Setiap saya berada di Masjid Nabawi, napak tilas perjuangan Rasulullah
Saw. tergali lagi dalam ingatan. Betapa manusia mulia itu telah berkorban jiwa dan raga demi kita, umatnya yang bahkan tak sempat menyaksikan kehadirannya hidup dalam kedamaian Islam. Walaupun perjuangan belum usai, umat Islam masa kini menghadapi tantangan sesuai zamannya.
Ketika melangkah di pelataran Masjid Nabawi yang luas, saya selalu memperhatikan payungpayung raksasa yang menaungi jemaah dari panas atau hujan. Angin yang berembus mengenai wajah saya rasanya sejuk sekali. Saya memejamkan mata, menikmati atmosfer yang tak bisa hadir setiap hari dalam hidup saya itu. Masya Allah, karunia-Mu, ya Allah, begitu luar biasa telah membawa saya ke sini.
Masjid Nabawi didirikan oleh Rasulullah Saw. dan merupakan masjid ketiga yang dibangun dalam sejarah Islam. Masjid ini awal mulanya adalah kediaman Nabi Muhammad yang beliau tinggali setelah hijrah ke Madinah pada 622 M. Dulu, masjid ini pernah dijadikan tempat perkumpulan masyarakat, majelis, dan sekolah agama.
Pada zaman Kesultanan Umayyah Al-Walid I, masjid ini diperluas secara besar-besaran. Dibuat pula tempat peristirahatan terakhir Nabi Muhammad, beserta sahabat beliau, yakni Abu Bakar dan Umar ibn Al-Khaththab. Semua umat Islam yang beriman pasti memimpikan datang ke sini.
Sebuah hadis Rasulullah Saw. yang diterima dari Jabir r.a, dari riwayat Ahmad mengatakan, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih besar pahalanya dari seribu kali shalat di masjid lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali shalat di Masjidil Haram lebih utama dari seratus ribu kali shalat di masjid lainnya.”
Beribadah di Masjid Nabawi tak kalah menakjubkan dari Masjidil Haram. Keduanya sama-sama menakjubkan tapi dengan aura yang berbeda. Makkah dengan Ka‘bahnya yang megah, Madinah dengan atmosfer kenabian yang kental. Saya memuaskan diri mengitari masjid yang besar nan agung ini dengan perasaan haru yang tak terkirakan.
--ooo-
Pada waktu yang ditentukan oleh mutawif, kami beranjak ke Raudhah, sebuah tempat yang amat istimewa di dalam Masjid Nabawi. Rombongan kami bergerak bersama, baik rombongan lelaki maupun perempuan. Tentu saja ada Elsa di rombongan perempuan. Dia dan ibunya ikut bergerak berjalan bersama ibu dan adik saya juga.
Raudhah ini disebut Taman Surga. Dulunya ini adalah area di antara rumah Nabi Muhammad dan mimbar tempat beliau biasa berkhotbah. Area ini tak terlalu luas, hanya sekitar 144 meter persegi yang dialasi karpet hijau, sedangkan karpet Masjid Nabawi lainnya berwarna merah.