BERISIK

Miftah Widiyan Pangastuti
Chapter #1

Malam Festival

Retno, 2008

Salah satu sekolah tersohor di Bandung mengadakan festival musik pada Sabtu malam yang bertepatan dengan hari ulang tahun Retno. Hebohnya, Retno merupakan panitia festival itu dan sudah enam bulan lamanya ia bersama tim sibuk mempersiapkan hari ini. Mereka bilang malam festival akan menjadi malam bersejarah bagi mereka sebab penonton akan membludak. Bayangan tiket habis terjual dengan segenap keuntungan yag didapat, mereka berencana akan merayakannya di pantai Jawa Timur, Pasir Putih, bonus yang selama ini mereka incar sejak membentuk panitia festival.

Ketika tanggal festival ditetapkan bersama pembina OSIS, Retno lah yang paling antusias. Meski diam dan tidak banyak berkomentar dalam rapat rutin di bulan-bulan persiapan festival, Retno adalah panitia yang sangat rajin menyelesaikan tugasnya di tim publikasi. Banyaknya tugas menjelang ujian akhir sekolah pun tidak menyurutkan semangatnya membuat desain iklan.

"No, kulihat akhir-akhir ini kantung matamu semakin tebal." ujar Fitri saat mereka sedang di kantin sekolah menikmati semangkok bakso langganan.

"Iya, biar aja." sahut Retno yang memang tidak peduli penampilan, disibaknya poni kecil yang mengganggu ekor mata.

"OSIS nguras tenaga kamu banget? Istirahat gih, No. Sedih aku tuh ngeliat kamu begini. Kayak gak keurus," Timpal Fitri memprotes aktivitas Retno.

Sebenarnya bukan masalah kantung mata yang menjadi pusat perhatian Fitri, hanya saja Fitri merasa kesepian sejak Retno sibuk mengurus persiapan Festival. Tidak ada lagi kegiatan bolos jam mata pelajaran Kimia dan nongkrong di pinggir lapangan basket. Tidak ada lagi percakapan tentang kegantengan kakak tingkat di sela-sela jam istirahat. Bahkan tidak ada lagi perdebatan usil mereka di tengah jam pelajaran Bu Seadanya, julukan untuk guru Kimia.

Retno melahap bakso terakhirnya dan segera berdiri.

"Udahan?" tanya Fitri heran melihat Retno bergegas berdiri sambil membawa mangkok.

"Kagak, mau tambah porsi. Lapar banget hari ini." sahut Retno dengan tawa ringannya.

Dia tidak pernah malu mengakui lambungnya yang tak kunjung kenyang dengan satu porsi bakso. Sudah menjadi rahasia mereka jika Retno sedang dalam kesibukan maka 'sesajen' yang dia butuhkan semakin banyak. Ibarat daya listrik, semakin besar kebutuhan maka semakin besar daya yang harus disiapkan.

Ketika Retno menunggu si abang bakso menuangkan porsi tambahannya, suara Hardi menyambar telinga Retno. Lantang dan tanpa basa-basi seolah ia ingin seluruh sekolah tahu percakapan mereka, "Retno! Udah kelar revisi desain?"

"Belom!" jawab Retno kalem tapi dongkol.

"Makan aja lu kerja! Buruan kelarin tuh desain! Badan udah subur begitu makan muluk!" Jawab Hardi ketus.

Retno tidak membalas obrolan mereka lagi, segera ia mengambil porsi ekstranya dan kembali duduk di hadapan Fitri. Seolah tidak peduli pada ucapan Hardi namun rupanya sekejap ia merasa tersinggung meski tidak bisa membalas ucapan Hardi.

"Gila Hardi! Negur kerjaan pas rame begini." Retno yang diusilin, Fitri yang keki.

"Biar aja. Yang waras ngalah."

"Gue suka gaya lo yang begini. Gas terooosss, Noooo. Hajaaarrr.. Jangan beri kendor!"

"Apaan sih." Retno dan Fitri tertawa lepas.

Hardi tidak pernah tahu bahwa ucapannya saat itu sangat diingat oleh Retno dan membuatnya semakin semangat menyelesaikan revisi desain dari pembina. Jauh di lubuk hati Retno,ia ingin melakukan yang terbaik untuk hari ulang tahunnya, bukan sekadar demi acara festival sekolahnya, tetapi karena ia telah memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini ia pendam tepat di malam festival.

----

Malam festival semakin dekat! Retno semakin berdebar-debar. Tidak hanya karena desain posternya yang dipuji habis-habisan oleh pembina dan berhasil menggaet banyak penonton, tetapi juga karena ia semakin dekat dengan misinya.

Lihat selengkapnya