BERISIK

Miftah Widiyan Pangastuti
Chapter #2

Survive?

Bima, 2008.

Siang itu, seorang lelaki remaja dengan tas ransel lusuh di pundaknya berlari sekuat tenaga. Tak peduli pada telapak kakinya yang mulai terasa kesakitan akibat menahan kerikil kecil yang menusuk-nusuk alas kakinya. Sepatunya tampak aus, tetapi ia terus berlari. Seolah ada anjing gila yang sedang mengejarnya.

Ngos-ngosan di ujung jalan, lelaki itu membetulkan letak tas ranselnya yang melorot. Tatapan matanya tampak tak bersahabat sekaligus lelah. Keringat mengucur deras tanpa ia seka sedikit pun.

Perlahan, ia melangkah maju menuju gerbang sebuah rumah berpagar besi tinggi. Sembari mengatur napas, ia mencoba tenang. Tiba tepat di depan pagar, ia melihat sekeliling, tampak sepi sekali seolah tidak ada penghuni di rumah itu. Sekali lagi ia mencoba menengok ke dalam pagar, melintasi setiap sudut yang bisa ia lihat dalam jangkauan pandangannya. Sepi.

"Cari siapa?" tanya seorang perempuan dari balik badannya. Mengejutkan.

"Ini bener rumah Pak Junaidi?"

"Iya. Siapa ya?"

Lelaki itu memperkenalkan dirinya tanpa menjulurkan tangan, "Aku Bima. Teman belajar untuk putri Pak Junaidi."

"Teman belajar? Aku?" perempuan itu terheran-heran dengan pernyataan Bima.

Perempuan itu anak kedua Pak Junaidi, Retno.

Retno memarkirkan sepeda gunungnya di depan gerbang, sedang Bima menggeser posisinya. Retno mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan membuka gerbang lebar-lebar.

"Masuk aja dulu, yuk!" Ajak Retno, mempersilakan Bima masuk terlebih dahulu. Bima patuh.

Setelah meletakkan sepeda gunung di samping rak sepatu, Retno memanggil ayahnya dengan lantang. Sunyi, tanpa jawaban.

Bima menunggu di teras, sementara Retno mengelilingi ruangan di dalam rumah mencari ayahnya. Terdengar suara Retno dari ruang tamu sedang berbicara dengan ayahnya di telepon.

"Bima, ayah minta nunggu bentar. Gak papa ya? Tadi ayah nunggu kamunya belum datang jadi ditinggal bentar ke rumah temennya. Deket sini kok. Paling 15 menit lagi udah nyampe." kata Retno ketika menghampiri Bima di teras.

Bima menoleh dan dengan sangat sopan ia menjawab, "Iya, ndak apa. Aku yang minta maaf karena telat. Ada rapat OSIS dadakan."

"Oh, anak OSIS juga?" Retno terkejut. Sekelebat nada Retno terdengar sangat penasaran sekaligus kagum.

Mungkin dia bertanya-tanya siapa aku? Anggota OSIS dan masih sempat mencari pekerjaan? Ngapain? Buat kuliah? Buat jajan? Atau karena menjaditulang punggung keluarga? Mengapa ayahku begitu percaya padanya? Apa hubungannya dengan ayah? Dimana ayah menemukan laki-laki ini? Di OSIS dia sebagai apa ya?

Bima menerka pertanyaan-pertanyaan yang otomatis timbul dalam prasangka Retno, yang tak sempat terlontar, namun terus berputar dalam otaknya meski tidak mengganggu fokusnya bercengkrama bersama Bima.

Percakapan mereka pun mengalir. Retno tampak tidak sungkan untuk tertawa lepas di depan Bima. Bima merasa nyaman berbincang dengan Retno, ada gravitasi khusus yang menariknya ke dalam pusaran pesona Retno. Tapi ia belum berani menatap lama mata Retno sebab Retno tampak polos, tidak ada prasangka buruk di matanya. Bima seakan telah mengenal Retno jauh sebelum pertemuan mereka saat ini.

Mobil ayah Retno datang, sigap Retno bangkit dari duduknya dan segera membukakan gerbang. Retno mencium punggung tangan ayah dan ibunya ketika mereka bertemu di bibir teras.

"Bimaaa. Maafkan saya yang meninggalkan kamu. Saya pikir kamu tidak bersedia hadir." seru ayah riang. Di telinga Retno sapaan ayahnya untuk Bima seperti sedang berbincang dengan kawan lama yang baru saja bertemu setelah sekian lama terpisah. Tidak ada jarak antara mereka. Sangat akrab. Retno semakin penasaran siapa sebenarnya Bima.

Ibu menyapa Bima dengan menanyakan kabar keluarga Bima, Bima menjawab semua sehat dan baik-baik saja. Ada getar di suara Bima saat menjawab pertanyaan ibu. Tak ingin menciptakan suasana kiku, ibu segera pamit masuk ke rumah. Ayah mengekor.

Lihat selengkapnya