Di Tepian Kehidupan 1

Mfathiar
Chapter #1

Senandung Duka #1

Lonceng telah dibunyikan. Gema suaranya memecah keheningan. Senandung duka telah terekam. Pena-pena usai mencatat melodinya dan tintanya pun sudah mengering. Manusia harus percaya ada takdir baik dan ada takdir buruk. Ada yang tidak bisa dihindari dalam hidup ini selain dengan menjalaninya saja penuh kesabaran dan kepasrahan, karena walau bagaimanapun menghindar, takdir manusia yang telah digariskan itu akan mengikutinya ke mana pun ia pergi. Rezekinya, ajalnya, amalnya, sedih atau bahagianya adalah empat hal yang telah tertulis jauh sebelum manusia dilahirkan. Dan yang bisa mengubah itu semua hanyalah doa dan usaha. Hidup itu memang rumit bila dipikir rumit. Akan tetapi, hidup itu juga mudah bila dikira mudah.

Meski menjalani takdir yang tidak diinginkan bukanlah hal yang mudah. Kadang kita harus menerimanya karena tidak punya pilihan. Pahit kehidupan pun menjadi sesuatu yang harus dipikul dalam setiap keadaan, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap. Namun, manusia harus percaya di balik kelemahan pasti diberikan kekuatan yang menyertainya. Kekuatan yang bisa menjadikan seseorang tidak tergantung dengan sumber kekuatan apapun di bumi dan langit. Kekuatan yang membuat seorang Ismail dapat bertahan dan bersabar hingga saat ini.

Takdir yang tidak diinginkan itu berpangkal pada sebuah kecelakaan di masa kecil. Di sebuah kawasan pinggiran kota, Ismail hanya tinggal berdua dengan ibunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibu Ismail bekerja sebagai tukang jahit. Ismail ingat betul kejadian di hari minggu pagi yang kelabu itu. Biasanya setiap Minggu, ibunya pergi sendirian ke pasar pakaian untuk belanja bahan jahitan. Jarak yang harus ditempuh untuk membeli bahan jahitan itu cukup jauh sehingga ibunya harus segera pergi pagi-pagi sekali. Setelah mandi dan sarapan, ibunya menitipkan Ismail kecil di rumah Pak Asep. Ismail sama sekali tidak keberatan dititipkan di sana karena pria payuh baya itu merupakan tetangga yang baik dan ramah. Bukan hanya orang dewasa, anak kecil pun suka padanya.

Rumah Pak Asep ini sudah terkenal sebagai arena bermain bagi anak-anak sekitarnya. Memang rumahnya kecil, namun halamannya luas. Banyak pepohonan yang sedang berbuah sepanjang musim. Semua anak senang bermain disini termasuk Ismail. Usia anak-anak yang datang bermain ke rumah itu bervariasi, tetapi yang dominan adalah di atas 8 tahun. Sedangkan Ismail masih 5 tahun. Walaupun menjadi yang terkecil di antara mereka, anak-anak itu tidak keberatan bermain dengan Ismail sehingga ia merasa nyaman seperti berada di rumah sendiri.

Matahari baru naik sepenggalan sewaktu Ismail sedang asyik bermain. Sedari tadi ia sibuk sendiri naik turun kursi bambu panjang, tidak ada yang melarang. Bergelantungan di daun pintu juga tidak mengapa. Tidak ada larangan bermain di sini. Setiap anak boleh bermain apa saja. Anak yang kelakuannya lebih agresif juga tidak dilarang.

Lihat saja, mereka sudah memanjat pohon jambu biji yang ada di halaman rumah Pak Asep dalam sekejap mata. Karena masih terlalu kecil, Ismail tidak boleh ikut memanjat pohon, dan tidak boleh juga berada di bawahnya. Dulu ia pernah menunggui mereka yang memanjat di bawah pohon. Lalu hidungnya berdarah terkena jambu biji yang dilempar oleh mereka saat ia meminta. Sejak itulah ia sudah kapok menunggui mereka bermain di atas pohon. Ia lebih memilih untuk memanjat daun pintu ketika mereka memanjat pohon itu lagi.

Saat telah bosan memanjati benda-benda, ia menghampiri Pak Asep yang sedang membersihkan senapan angin.

“Bapak sedang apa?”

“Lagi bersihkan ini!” jawab Pak Asep singkat.

Ia sedang sibuk mengelap senapan angin itu dengan kain baju yang sudah tidak dipakai.

“Kamu jangan dekat-dekat, nanti kena pentung kepala kamu karena ini berat,“ usirnya dengan lambaian kain lapnya yang sudah menghitam.

“Bisa buat tembak?” Ismail masih saja mengelilingi senapan itu.

“Tidak bisa. Ini senapannya lagi rusak. Mau di servis dulu. Kamu jauh-jauh kesana ya, duduk di situ saja!” tunjuknya ke arah pojok.

Ismail tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya, melainkan hanya tertawa. Ia senang menggoda dengan melakukan hal yang berlawanan dari apa yang disuruh.

Pak Asep hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat Ismail tiada mengindahkan perkataannya.

“Baiklah, kamu boleh membantuku dengan melihat saja, tapi tidak boleh memegang ya,” katanya dengan sabar. Dicubitnya pipi Ismail dengan gemas, lalu berhenti menyuruh Ismail pergi dari sisinya.

Pak Asep kembali tenggelam dalam kesibukannya membersihkan senapan, sementara Ismail tetap boleh melihat-lihat senapan itu dari dekat. Ismail mengikuti apa saja yang dikerjakan Pak Asep, turut mengelus-elus moncong senapan dengan perasaan gembira, meraba-raba teksturnya yang memiliki laras panjang penuh rasa ingin tahu. 

Lihat selengkapnya