Namaku Maryati. Seperti kisah yang pernah kau dengar tentang seorang manusia yang berada di tengah hutan sendirian bersama hewan-hewan berbeda bahasa. Itulah aku. Sungguh berat rasanya menjalani hidup sendirian. Meski tinggal di tengah keluarga, namun mereka tidak bisa memahami bahasa nurani kita. Persis seperti Tarzan yang berjuang sendirian di tengah hutan. Harus kuat dan tangguh menghadapi segalanya. Tidak gampang menyerah dan putus asa.
Kadang aku berpikir jadi orang kaya itu enak, hidupnya penuh kemudahan dan serba berkecukupan. Tidak merana dan serba kekurangan seperti aku. Bukannya ingin membandingkan si kaya dan si miskin, tapi memang kemiskinanlah yang membentang luas di jalanku. Miskin harta dan juga kasih sayang. Ibu kandungku sudah bercerai dengan bapak saat aku masih SD kelas satu. Bapak mendapatkan hak perwalian karena pekerjaannya yang stabil sebagai seorang PNS lebih mampu membiayai sekolahku. Ibu meneruskan kehidupannya sendirian. Tidak mau menikah lagi. Sedangkan aku meneruskan hidup berdua dengan bapak yang membiayai semua keperluanku hingga kemudian bapakku menikah lagi dan aku mendapatkan ibu tiri.
Setelah bapak menikah, semua kebutuhanku harus aku penuhi sendiri. Kalau tadinya bapak masih membiayai sekolahku, setelah menikah ia pun lupa akan kewajibannya. Jangankan uang sekolah, uang jajan saja tidak pernah aku dapatkan lagi. Bajuku yang tadinya ia bantu cuci dan setrika, kini semua aku lakukan sendiri di usia yang masih dini. Padahal aku masih tinggal bersama bapak dan ibu tiriku. Walaupun kami tinggal di bawah atap yang sama, ibu tiriku ini bukanlah sosok yang bisa memberikan kelembutan dan kasih sayang seperti yang aku inginkan atau yang seharusnya aku dapatkan. Bapak telah mempercayakan semua kebutuhanku kepada ibu tiriku. Namun ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan ibu tiriku. Mungkin saja bapak tahu tapi tidak mau tahu. Entahlah.
Aku tidak bisa dekat dengan ibu tiriku. Seseorang yang secara fisik berada dekat dengan kita itu belum tentu hatinya dekat juga. Kenyataan itu terjadi antara aku dan ibu tiriku. Aku tak pernah merasa nyaman berada di dekatnya karena perlakuannya yang sangat kejam. Setiap hari aku diharuskan melakukan pekerjaan rumah. Bekerja dan terus bekerja tanpa jeda. Makan dan minum aku lakukan diam-diam. Aku pandai mencuri kesempatan karena ia akan marah jika tahu aku istirahat walau untuk makan atau minum. Bisa-bisa aku disebutnya pemalas. Semua maunya harus aku turuti, bila salah sedikit, langsung caci makinya keluar disertai ancaman dan pukulan yang meninggalkan bekas.
Ibu tiriku gampang sekali naik darah dan main tangan. Tidak hanya sekedar pukulan fisik yang menyakitkan, namun telingaku juga selalu mendengar hapalan nama-nama hewan bila ibu sudah marah. Saking seringnya, aku bahkan tidak pernah menangis lagi kala mendengarnya. Aku sudah kebal. Ibu kandungku sama sekali tidak tahu mengenai hal ini. Aku jarang punya kesempatan bertemu ibu kandungku yang tinggal di kota yang berbeda. Sejak menikah aku tidak pernah lagi pergi bersama ayah untuk bertemu ibu kandungku karena ibu tiriku melarangnya. Cinta lama bisa bersemi kembali, menjadi alasan ibu tiriku.
Ibu kandung tidak akan bisa mengira telah terjadi hal yang buruk padaku. Mungkin ia punya firasat, tapi tidak ada bukti. Ibu tiriku pintar bersikap manis di hadapan orang lain. Aku ingin sekali cerita padanya bahwa selain menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari ibu tiri, aku juga tidak menerima uang yang cukup untuk biaya sekolah dan jajan. Tapi aku tidak sanggup menceritakan semua hal itu ketika sudah bertatapan langsung dengannya. Hidupnya sudah susah, aku tidak ingin hatinya bertambah susah mendengarkan ceritaku. Biarlah ibu kandungku tahu aku bahagia saja bersama ayah dan ibu tiriku.
Hidupku yang mulai dipenuhi masalah sejak kecil telah mengajarkanku banyak hal. Apalagi sejak ibu tiri masuk dalam episode hidupku. Satu persatu dari masalah itu aku temukan solusinya. Masalah ibu tiriku yang suka membentak sambil memukul dan marah-marah tanpa sebab yang jelas tidaklah menjadi masalah yang besar bagiku. Aku bisa mengatasinya dengan pura-pura tuli dan berusaha melupakan semua rasa sakit. Masalah besarnya justru muncul dari guru selalu menagih uang sekolah kepadaku, akan tetapi uang yang diberikan bapakku lewat ibu tiri selalu tidak cukup untuk membayarnya. Akhirnya aku memakai cara sendiri untuk membiayai uang sekolah.
Aku memutuskan bekerja membantu orang untuk mendapatkan upah. Karena masih kecil dan tenagaku tidak seberapa, aku melakukan pekerjaan kasar seadanya yang sanggup aku lakukan demi untuk mendapatkan uang, misalnya menimba air, mencuci piring di pesta perkawinan, membawakan sayuran orang ke pasar, mengantarkan barang, dan lain-lain. Untuk semua itu aku diberikan upah hanya sedikit. Bagiku upah sedikit tidak mengapa yang penting aku dapat uang.