Di Tepian Kehidupan 1

Mfathiar
Chapter #3

Makna Buram #3

Manusia adalah makhluk yang paling cepat beradaptasi terhadap apapun. Ismail merasakan hal yang sama. Awalnya memang ia merasa tidak nyaman dengan pandangan mata kirinya yang buram. Tapi, lama kelamaan akhirnya terbiasa dengan keburaman itu. Bukan tanpa alasan Ismail menyembunyikan keadaan itu sendiri itu hingga tiada seorang pun yang tahu. Ia masih trauma dengan keadaannya begitu terbangun dari koma. Selang yang terpasang di seluruh tubuhnya, jarum suntik, dan suara monitor yang berbunyi nyaring dari seorang anak yang meninggal di sebelahnya masih selalu terbayang-bayang di pelupuk mata. Ia takut akan masuk ke ruang itu lagi jika dokter sampai tahu tentang mata kirinya.

Ismail menyimpan rapat-rapat rahasianya. Mata kirinya yang juling memang cukup menjadi bahan pertanyaan yang mengandung nada khawatir dari guru dan teman-teman dekatnya. Namun jawabannya selalu berhasil menepis kekhawatiran mereka. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya melihat dalam keburaman selain dirinya sendiri. Tidak ada yang curiga dengan kondisi matanya selama dia tidak mengeluh. Prestasinya yang gemilang dalam meraih juara umum di sekolah membuat semua orang melupakan mata kirinya yang juling.

Ismail mengenyam pendidikan sekolah umum dan pesantren sekaligus. Pada keduanya pula ia selalu berprestasi mendapatkan peringkat kelas. Bahkan hapalan alqurannya pun lancar di pasantren. Oleh karena prestasi belajar di kedua sekolahnya tidak pernah turun, kedua orangtuanya tidak mempertanyakan lagi tentang kondisi matanya pada Ismail. Guru juga tidak pernah melaporkan ada kendala saat proses belajar mengajar. Kondisi mata Ismail yang sebenarnya pun luput juga dari kedua orangtuanya.

Dalam kesehariannya Ismail lebih mengandalkan mata kanan yang masih sehat karena mata kirinya tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya, kesehatan matanya semakin terganggu. Sama sekali tidak terpikir olehnya hal tersebut bisa berakibat fatal. Pandangan mata kirinya yang awalnya buram, makin lama makin hitam, lalu tidak kelihatan sama sekali. Itu terjadi saat menginjak kenaikan kelas 3 SMP.

Ismail sedang mengerjakan PR bersama ayahnya di rumah saat merasakan gejala yang memburuk. Tiba-tiba matanya yang sebelah kiri itu sudah tidak buram lagi melainkan hitam kelam. Tidak ada rasa sakit, hanya gelap saja. Dikiranya efek lampu di malam hari. Mengapa hanya sebelah saja? Ismail mengedipkan matanya bergantian kiri dan kanan.

“Kenapa, Nak?” tanya ayahnya melihat tingkah Ismail yang aneh.

Ismail memandang ayahnya dengan bingung, lalu beralih kepada pandangannya semula ke atas meja. Mendekat dan menjauhkan kepalanya dari kertas soal.

“Ada apa Ismail?” Ibunya menghentikan kegiatan cuci piringnya. Ekspresi wajahnya terlihat khawatir.

Ismail berpaling kepada ibunya. Luas pandangan tempat ibunya berdiri pun cuma kelihatan setengah. Berarti benar! Mata kirinya tidak berfungsi lagi.

“Ya Allah, mata kiri Ismail tidak bisa melihat!” teriaknya panik.

Ismail terkejut dengan kenyataan yang baru disadarinya. Kedua orangtuanya lebih panik lagi. Ibunya reflek melepaskan semua yang dipegangnya dan berlari memeluknya. Ismail tahu hatinya akan sakit melihat tatapan mata orangtuanya. Rasanya tidak tega. Tapi mau tidak mau kedua orangtuanya harus tahu mengenai ini agar segera mendapatkan penanganan. Ia tidak ingin kehilangan matanya.

“Kita ke rumah sakit ya, Nak! Mau ya?” ujar ayahnya sambil merangkul bahu Ismail.

Ismail mengangguk. Tidak ada pilihan.

Lihat selengkapnya