“Haaa, punyaku mana???!” teriakku ketika teman-temanku telah memegang surat TOEFL-nya masing-masing.
Kami semua sedang mengerubungi selembar amplop cokelat yang dikirim dari Palembang berisi surat TOEFL semua peserta kursus bahasa Inggris dari Aceh.
Dengan cemas aku meraih kembali amplop cokelat tadi, berusaha merogoh ke dalamnya dan berharap masih ada selembar surat tersisa di situ.
“Tidak ada ...,” aku sedikit meringis.
Teman-temanku menampakkan wajah prihatin kepadaku.
“Telepon saja ke sana, Ham,” saran salah seorang di antara mereka.
Aku tidak menjawab, pikiranku sangat terganggu. Tinggal dua hari lagi sisa waktu untuk memasukkan lamaran ke AusAID (Australian Government’s Overseas Aid Program).
Keinginanku untuk melanjutkan
studi S-2 ke luar negeri
sangat menggebu-gebu.
Keinginanku untuk melanjutkan studi S-2 ke luar negeri sangat menggebu-gebu. Setelah kursus TOEFL selama beberapa bulan di sebuah institusi bahasa Inggris di Palembang, aku berhasil memperoleh nilai TOEFL yang memenuhi syarat untuk melamar beasiswa S-2 ke luar negeri. Negara tujuanku adalah Australia. Aku sudah memilih universitas, bahkan fakultas dan jurusan, yang aku pikir ideal untukku. Aku sudah menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan.
Semua sudah komplet, tinggal menunggu datangnya surat nilai TOEFL, pikirku.
Akan tetapi, malah begini jadinya!
Aku berusaha menelepon ke lembaga kursus tersebut hari itu. Sayangnya, jaringan telepon terlalu sibuk. Meskipun aku sudah mencobanya berkali-kali, tetap tidak berhasil. Lebih gawat lagi, besok adalah akhir pekan. Itu berarti lembaga kursus tutup. Aku kecewa sekali karena Senin adalah hari terakhir lamaran diterima.
Aku kembali mencoba menelepon pada Senin. Tersambung.
“Oh, ya ..., maaf, Pak. Surat TOEFL Bapak terselip, tidak terkirim. Kami akan kirimkan dengan paket cepat hari ini ... segera, Pak,” suara dari lembaga kursus.
Ya, Allah!
Aku hanya pasrah menerima kenyataan. Surat TOEFL-ku paling cepat akan tiba besok, Selasa, sehari setelah penerimaan lamaran beasiswa S-2/S-3 AusAID ditutup.
*
Aku masih tenggelam dalam kekecewaan dan kesedihan karena tidak berhasil melamar beasiswa AusAID. Aku tidak akan sekecewa ini seandainya aku memperoleh surat TOEFL sebelum pendaftaran beasiswa Australia itu berakhir. Kalaupun kemudian tersisih dari persaingan, aku bisa menerimanya dengan lapang dada dan mengakui keunggulan teman-teman lain yang berhasil. Namun, kenyataan yang kuhadapi ternyata sangat menyakitkan.
Percuma nilai TOEFL-ku termasuk salah satu yang tertinggi di kelas. Justru malah aku yang tidak bisa mendaftar program beasiswa yang sudah lama kuimpikan. Itu pun bukan karena kesalahanku sendiri, batinku gusar. Aku belum bisa menerima dan memaafkan keadaan itu.
Dua minggu telah berlalu. Surat TOEFL sudah berada di tanganku. Namun, untuk apa?
Perasaanku kembali sedih. Hampir semua temanku berhasil lolos seleksi awal dan bersiap ke Jakarta untuk tes wawancara dengan AusAID. Sementara aku? Tersisih dengan konyolnya.
*
Seminggu kemudian, sebuah pengumuman tertempel di papan pengumuman kampus.
Penerimaan Proposal untuk Beasiswa S-2/S-3 ke Jerman Melalui DAAD (The German Academic Exchange Service).
Hmmm ... kurang menarik, pikirku. Tujuanku sejak awal sudah jelas, negara berbahasa Inggris: Australia atau Amerika.
Meskipun demikian, setelah disarankan oleh teman-temanku yang sudah lulus AusAID, akhirnya aku memasukkan lamaran untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
Tak kusangka, ternyata aku lolos seleksi awal. Aku sempat menduga, jangan-jangan kelulusanku ini karena aku tidak punya saingan yang berarti, mengingat sebagian besar temanku telah lulus AusAID.
Aku pun dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti wawancara langsung dengan DAAD, lembaga pemberi beasiswa. Aku tidak begitu bersemangat karena Jerman memang bukan negara tujuanku. Apalagi, beberapa teman lain malah menyarankan agar aku menyerah saja.
“Tidak usah berangkat ke Jakarta, Ham. Sainganmu dalam tes wawancara nanti adalah orang-orang dari berbagai universitas terbaik di Indonesia, kamu akan sulit lulus,” saran seorang teman yang pernah dua kali gagal dalam wawancara DAAD untuk mendapatkan beasiswa S-3 beberapa tahun lalu—meskipun dia lulusan S-2 Amerika.
“Menghabis-habiskan uang saja, Ham. Ke Jakarta, kan, mahal,” sambung yang lain.
Aku ragu. Terutama karena keadaan finansialku tidak mendukung. Aku baru saja menikah dua bulan yang lalu dan itu menguras habis tabunganku. Namun, istriku dengan tulus berujar, “Bang, Adik punya tabungan satu juta. Pakailah untuk ke Jakarta. Semoga uang ini berkah dan bisa mengantar Abang ke Jerman ....”
Akhirnya, aku memutuskan untuk berangkat juga ke Jakarta dengan uang seadanya. Untuk menghemat pengeluaran, aku memutuskan untuk menempuh jalan laut dan menumpang di kamar indekos seorang teman di Jakarta.
*
Beberapa “kebetulan” terjadi dalam proses wawancara di Jakarta. Dari tujuh profesor yang menjadi pewawancara hari itu, tidak ada seorang pun yang menguasai bidang ilmu seperti proposal yang kubuat. Alhasil, para profesor itu tidak begitu memahami presentasiku, dan otomatis tidak memberikan pertanyaan-pertanyaan rumit kepadaku. Mereka saling memandang dan sedikit kebingungan ketika diminta oleh moderator untuk memberikan pertanyaan. Beberapa dari mereka terlihat memberi isyarat bahwa tidak mempunyai pertanyaan.
Akhirnya, mereka menanyakan seputar ilmu-ilmu dasar kimia yang sebenarnya hanya pantas ditanyakan kepada mahasiswa S-1 semester awal. Tidak mengherankan jika performaku—yang juga adalah tentor Kimia di sebuah lembaga bimbingan belajar—di depan pewawancara hari itu terlihat sangat baik.
Aku lulus ke Jerman!
pekikku dalam hati.
Beberapa minggu berselang, aku menerima surat pemberitahuan hasil evaluasi penerimaan beasiswa DAAD.
Aku lulus ke Jerman! pekikku dalam hati.
Rasanya tak percaya. Masih terbayang dengan jelas penampilan para pelamar lain waktu wawancara di Jakarta. Sebagian besar dari mereka berdasi rapi, membawa laptop, dan menampilkan kesan yang baik. Sementara aku, hanya datang dengan celana lusuh, kemeja lengan panjang, dan tidak membawa apa-apa.
“Ikut wawancara juga, Dik?” tanya salah seorang peserta yang duduk di sebelahku di ruang tunggu.
Pria berkacamata ini terlihat begitu serasi dalam balutan setelan jas abu-abunya. Di pangkuannya terdapat sebuah laptop yang dibiarkan hidup. Aku sempat melirik layarnya. Oh, ternyata dia juga orang kimia sepertiku, pikirku ketika sempat melihat tampilan presentasi di laptopnya.
“Iya,” jawabku pendek.