Siang ini peserta BJB kumpul di Diknas Pendidikan karena ada pengumunan mengenai alur seleksi BJB oleh Pembina BJB, pertemuan pertama diisi dengan perkenalan terlebih dahulu.
Singkat cerita, waktu itu pengumumannya di sekolah saat aku ujian praktik senam. Tentunya bahagia, banyak dari teman angkatanku mengucapka selamat padaku. Aku menangis terharu bahagia dan teman-temanku memberiku semangat.
Dibalik itu semua ada seseorang yang kecewa, dia teman kelasku juara pertama di kelas sekaligus di angkatanku. Tapi aku mengabaikannya mungkin saja itu hanya perasaanku. Dan tak disangka ada guru yang tidak senang jika aku yang lolos tes BJB, padahal aku membawa nama baik sekolah loh, bahkan aku sendiri yang lolos dari sekolahku, tapi aku mengetahui itu saat aku sudah lulus SMA.
Selama tiga hari peserta BJB kumpul di Diknas Pendidikan untuk dibimbing sekaligus mendaftar online ke UGM sesuai MoU dengan Pemda Kabupaten Kaur. Sejujurnya, aku tidak terlalu minat daftar di UGM karena jurusannya tidak kusukai, tapi aku mendaftar hanya untuk memenuhi MoU sebagai peserta seleksi jalur BJB. Maka dari itu, aku dibantu oleh Wanku untuk memilih jurusan, aku hanya menurut karena aku sama sekali tidak berminat.
Bintang Jemput Bintang sudah ada sejak tahun 2012 sampai sekarang. Pemda Kaur bekerjasama dengan PT Instudia di Kota Bandung yang mana peserta yang lolos tahap I diambil 12 orang tertinggi nilainya, tahap II diadakan karantina selama satu pekan di Bandung yang diambil hanya dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan. Dua orang tersebut menjalani karantina persiapan kuliah ke luar negeri selama satu tahun di Indonesia, sisanya mengikuti seleksi di dalam negeri.
Setelah pelepasan hari kemarin bersama Bupati Kaur, hari ini kami peserta BJB berangkat menuju Bandung jalur udara. Aku sudah menyiapkan perlengkapan yang akan kubawa dari semalam. Pukul 06.30 WIB aku sudah menunggu mobil jemputan di teras rumah. Kebiasaanku sedetik sebelum berangkat ke mana pun adalah aku harus ke kamar mandi terlebih dahulu.
“Anisa! Cepetan ini udah ada mobil!” omel Makku.
“Iya bentar!” balasku. Aku berlari dari kamar mandi menuju halaman rumah. Tanpa kusadari aku menyenggol gelas.
Ting. Bunyinya tidak terlalu memekakkan telinga, tapi pas kulihat eh pecah. Awalnya aku mau membereskan serpihan gelas yang pecah, tapi udah diteriakin lagi. Jadinya aku lari ke luar dan aku hanya memberitahu Makku bahwa aku telah memecahkan sebuah gelas. Sungguh tidak bertanggungjawab.
Setelah menempuh perjalanan yang jauh, akhirnya kami tiba di Isola Resort UPI Bandung pukul 9 malam. Kami disambut Ketua PT Instudia, Pak Aceng Imam. Kami diberi kunci kamar dengan teman kamar yang telah ditentukan, aku sekamar dengan Nadia.
Pintu lift terbuka, kami segera keluar dan menuju kamar kami yang berada di lantai 3.
“Wah! Bagus kamarnya ya Nad!” ujarku seraya meletakkan koper di lemari dan memandangi kamar setiap inci. Kamarnya lumayan luas, ada dua tempat tidur.
“Iya adem lagi,” kata Nadia.
“Kamu mau di mana, Sa?” Tanya Nadia.
“Aku di sini aja ya,” pintaku.
“Ok!” kata Nadia seraya berjalan menuju tempat tidur.
Setelah membersihkan diri, aku menaiki ranjangku yang nyaman ini.
“Ya ampun! Penat sekali rasanya!” keluhku. Aku juga melonjorkan kakiku di atas selimut.
“Mau pake AC gak, Sa?” Tanya Nadia lagi.
“Gak usah deh, ini aja udah dingin!” tolakku.
Aku yang pertama kali menginjakkan kaki di Bandung merasa terpuaskan. Bagaimana tidak, lingkungan UPI sangat membuatku nyaman dengan kesejukannya, tapi karena aku baru pertama kali ke sini aku merasa di sini dingin sekali. Selama di hotel ini kami tidak pernah menyalakan AC, Karena tanpa AC pun sudah dingin.
“Nadia!” panggilku.
“Iya?” balas Nadia.
“Kamu udah mau tidur belum?” tanyaku.
“Bentar lagi,” jawab Nadia.
“Oh yaudah, aku tidur duluan ya, aku ngantuk sekali,” lirihku.
Sebelum tidur, aku membaca doa terlebih dahulu. Tak butuh waktu lama untuk berkhayal, aku dengan mudah terlelap karena badanku sudah penat. Tak lupa sebelumnya aku sudah mengatur alarm di hpku, itu sudah menjadi kebiasaanku sebelum tidur.
Tok Tok Tok
“Nadia, Anisa!” panggil seorang perempuan dari luar.
“Iya, sebentar!” kataku sambil membuka pintu.
“Udah siap belum?” tanya Nabila, ternyata perempuan yang memanggil itu adalah Nabila. Nabila ini satu sekolah dengan Nadia, teman sekamarku.
“Udah kok. Ayo Nad!” ajakku pada Nadia.
Kami bergegas ke bawah untuk sarapan. Karena di hotel ini bukan hanya kami, jadi harus antre. Makanan di sini rasanya lebih asam dan manis sehingga kurang nyaman di lidahku, terlebih aku penyuka asin.
Kami telah berada di kelas, ruang belajar selama kami di sini. Ruangannya begitu nyaman dan dingin karena dilengkapi AC, juga disuguhkan cemilan untuk menemani kami belajar.
Sebelum pelajaran dimulai, Pak Aceng menyampaikan peraturan dan jadwal kami selama di karantina. Pak Aceng mempunyai istri yang juga membimbing kami belajar, namanya Frau Elli. Frau artinya Ibu atau biasa digunakan untuk panggilan ke wanita yang lebih tua, yang diambil dari bahasa Jerman.
“Nama saya Aceng Imam ketua PT Instudia, saya juga alumni UPI jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Saya dan istri saya yang akan membantu kalian selama karantina.” jelas Pak Aceng penuh antusias.
Saat mendengar Pak Aceng menyebut jurusan Pendidikan Bahasa Arab, aku berkata dalam hati, “wah, hebat sekali! Kan itu jurusan yang aku inginkan.”
“Gimana tidur kalian semalam, nyaman?” kali ini Frau Elli yang bertanya.
“Nyaman Frau, tapi dingin sekali,” jawab Nugraha mewakili. Tapi, kami biasa memanggilnya Gara, panggilan itu muncul secara tiba-tiba.
“Ok! Hari ini kalian akan belajar Matematika bersama Pak Jafar. Selamat belajar ya!” ucap Frau Elli seraya meninggalkan kelas.
Seharian ini kami belajar Matematika, Pak Jafar dengan santai menjelaskan materi menggunakan proyektor. Beliau punya cara tersendiri untuk mengerjakan soal-soal Matematika, dan menurutku caranya ringkas dan mudah dipahami.
“Ah! Andai saja guru di sekolahku seperti Pak Jafar, pasti aku dengan mudahnya mengerjakan soal-soal gila ini.” Kataku dalam hati.
Pak Jafar adalah guru di salah satu SMA di Bandung, juga dosen di ITB. Wajar bila beliau ahli bidang Matematika. Selama ini soal-soal Matematika membuatku stress, tapi beliau dengan mudahnya mengerjakan soal-soal itu dengan cara yang sangat singkat.