Jeruji besi penjara di belakang Anjani kembali menutup. Terdengar ceklik bunyi gembok beradu dengan pinggiran besi yang sedang dikunci. Dari sela jeruji itu, seorang petugas wanita yang mengantarkan kebebasannya menyelipkan sejumlah uang ke saku atasannya lalu melambaikan tangan. Dada Anjani berdesir melihat senyumnya yang tulus, hampir tidak percaya ada manusia yang bahagia melihat kebebasannya. Ia ingin membalas senyum petugas itu, tetapi bibirnya terasa kaku. Mungkin ia telah lupa cara tersenyum.
Lima belas tahun lalu, bangunan tinggi penjara itu menelan Anjani hidup-hidup. Mengubahnya menjadi sosok yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia beruntung mendapat remisi dan tidak sampai duapuluh tahun terkubur di dalamnya. Tapi, bukankah keluar dari bangunan itu sekarang rasanya seperti mayat hidup?
Anjani memandangi dirinya sendiri. Celana jeans belel, kaos hitam kusam, sepasang sepatu keds hitam robek sebelah dan tas ransel abu-abu. Semua benda-benda itu terlihat menyedihkan seperti kondisi tubuhnya sendiri. Tangan dan kakinya penuh bekas luka cakaran karena dibully penghuni lain. Rambutnya kusam, rontok dan berantakan karena tak pernah disisir dengan benar. Tubuhnya kering kerontang sehingga baju yang ia kenakan turun dua nomor dari saat kedatangannya ke penjara lima belas tahun lalu. Tak hanya mengubah seluruh tubuh dan rasa, penjara juga menghapus keberaniannya menghadapi hidup.
Anjani mengambil jalan samping agar tidak bertemu kerumunan orang yang menjemput keluarganya. Hari ini ada beberapa narapidana wanita yang dibebaskan. Dulu, saat usia Anjani 19 tahun, ia memasuki gerbang ini diantar banyak orang. Para wartawan dan penggemarnya. Sebagian berduka karena penulis idolanya ternyata seorang pembunuh yang mengabadikan tindak kejahatannya sendiri dalam novel. Novel perdana yang ditulis Anjani itu meledak di pasaran dengan ulasan bagus dari berbagai media. Sebagian yang lain senang karena mendapatkan berita hebat siang itu. Berita yang bisa menaikkan oplah penjualan koran atau majalah tempat mereka bekerja.
Sekarang Anjani melewati gerbang ini sendirian. Wartawan dan penggemar tentu sudah melupakannya. Zaman sudah berganti. Ia mendengar dari balik tembok penjara, media cetak juga sudah kolaps berganti digital. Ia berpikir bahkan mungkin ibunya sendiri juga sudah melupakannya.
Apa kabarmu, Ibu? Anjani menghitung dalam hati. Umur ibunya 45 tahun saat ia meninggalkan rumah. Anjani masih teringat ibunya tidak menampakan diri malam itu. Mungkin ibu terpukul melihat kejadian itu. Itu terakhir kalinya Anjani melihat ibu. Selama 15 tahun, ibu tidak pernah menjenguk atau menghubunginya di penjara. Sekarang umur ibunya sudah 60 tahun. Apakah ibu akan memaafkanku dan memelukku seperti dulu? Atau ibu justru membenciku dan tidak mau melihatku lagi? Entahlah. Ada rasa pedih yang menikam ulu hati Anjani setiap saat membayangkan ibunya.
Anjani nyaris tidak mengenali jalanan Jakarta lagi. Ia tidak menemukan metromini ugal-ugalan dan angkutan kota yang ngetem di sembarang tempat. Sebagai gantinya, pengendara motor mengenakan jaket warna hijau berseliweran menjemput penumpang. Bus-bus besar berwarna-warni bagus menggantikan bus satu warna pada masa lalu. Sebuah mobil menghampiri Anjani, menawarkan tumpangan untuk pulang. Mereka menyebutnya taksi online yang dipesan melalui aplikasi. Karena Anjani tidak memiliki handphone maka sopirnya menawarkan ia membayar tunai saja sesuai harga aplikasi. Ia memeriksa uang di saku bajunya. Setelah yakin uang itu cukup untuk membayar taksi online, Anjani mengangguk pada sopir.
Sopir melaju ke pinggiran Jakarta lalu berbelok ke gang dengan jalanan berlubang. Guncangan mobil terpaksa mengakhiri rasa kagum Anjani melihat perubahan ibukota. Jalanan yang mulus, taman-taman yang cantik, halte yang nyaman, trotoar yang lebar dan jembatan penyeberangan yang artistik. Mobil berhenti di ujung gang karena tidak bisa masuk ke dalam.