“Halo adik manis, lo pulang?” suara berat itu mengejutkan Anjani.
Bari Sukma, kakak semata wayang Anjani itu berdiri angkuh di ruang tamu. Matanya bergerak liar meneliti tubuh Anjani seolah adiknya itu baru saja mencuri sesuatu dari dalam rumah. Anjani balas memandang kakaknya tajam.
“Gue kira lo keluar penjara lima tahun lagi…” katanya sinis.
Anjani menghela napas lalu memandang sekeliling ruang tamu.
“Lo nyari sesuatu di rumah ini?” tanyanya curiga. “Ibu nggak ninggalin apa-apa, kayaknya ibu juga nggak maafin lo.”
“Ibu sekarang di mana?”
Bari tertawa. “Setelah lima belas tahun baru lo nanya ibu di mana?”
“Gue harus nanya siapa? Nggak ada orang yang datang ke penjara.”
“Jani… Jani…” Bari terkekeh. “Mana ada yang sudi jenguk lo.”
Anjani menelan ludah susah payah. Berusaha tidak tumbang di hadapan Bari. Ia tahu memang itulah yang selalu diinginkan Bari sejak dulu. Tumbang secara mental di hadapannya sehingga ia bisa berkuasa.
“Ibu bunuh diri karena kelakuan lo.”
Mendadak sesuatu yang berat menghantam dada Anjani. Sesuatu yang sangat menyakitkan. Ia nyaris terhuyung jatuh kalau tidak segera menyandar pada tembok ruang tamu.
“Ibu… ibu…?”