Kakek Zahrial Ali
Desa Mandale, Gayo, Aceh Tengah.
Anjani memandangi alamat di kertas dengan bingung. Gayo, Aceh Tengah? Betapa jauhnya tempat itu dari Jakarta. Bukan hanya itu yang membuatnya kaget. Tetapi ia baru tahu bahwa ibunya keturunan Aceh. Berapa banyak rahasia lagi yang disimpan ibunya? Banyak hal-hal mengejutkan yang tidak diketahui Anjani tentang ibunya, meskipun sejak kecil ia tidak pernah berpisah dengan ibunya. Setelah menjual dua cincin peninggalan ibunya, Anjani memesan tiket pesawat ke Banda Aceh lalu ke Gayo. Ini adalah perjalanan paling aneh dan menakutkan dalam hidup Anjani. Maka untuk mengatasinya, ia lebih banyak memejamkan mata di dalam pesawat.
“Kenapa kamu membunuhku?” Mayo memandang Anjani dengan wajah sedih.
Anjani menggeleng.
“Tolong, Jani. Aku perlu tahu, kenapa kamu membunuhku!”
Anjani menggeleng lagi. “Aku nggak membunuh siapapun.”
“Mayatku ada di meja belajarmu.”
“Aku nggak tahu.”
Mayo bersimpuh di depan Anjani, memegangi tangannya. Wajahnya memerah karena sedih dan marah yang sangat. “Aku mencintaimu, Jani.”
Mayo menatap mata Anjani putus asa. Anjani membuang pandang ke arah lain, tidak sanggup menatap matanya yang menuntut jawaban. Saat itulah Anjani melihat gurita raksasa bergerak pelan di sudut ruangan yang gelap. Menjulurkan delapan lengannya yang panjang dan berkutil mengerikan. Matanya memandang Anjani tajam dari atas tubuhnya yang bulat lonjong serupa karung. Anjani ketakutan dan mencengkeram lengan Mayo.
“Mayo, dia yang membunuhmu!”
Tetapi Mayo tidak memedulikan kata-kata Anjani. Tangan Mayo justru mencengkeram balik lengan Anjani dengan kuat sementara gurita raksasa itu bergerak semakin mendekat. Anjani tidak mengerti mengapa Mayo melakukan itu padanya. Dua lengan bagian depan gurita menyentuh tubuh Anjani dan perlahan membelit kakinya. Lengan-lengan itu seolah memiliki pemikirannya sendiri tanpa menunggu perintah dari otaknya. Namun keinginan mereka sama, untuk menghancurkanku lalu menghisapku ke dalam mulutnya. Anjani berusaha melepaskan diri dari lilitan gurita dan cengkeraman tangan Mayo. Tetapi saat ia menatap mata Mayo, ia melihat sorot mata gurita itu ada di dalam mata Mayo.
Dingin, gelap dan ganas.
“Jadi kamu… kamu…”
Anjani menghempaskan tangannya sekuat tenaga dari cengkeraman Mayo tetapi lengan-lengan gurita raksasa itu sudah membelit seluruh tubuhnya, meremukkannya dan berusaha menghisapnya. Rasa sakit yang hebat menjalar di seluruh tulang tubuhku.
“Tolong…tolong…tolong…” Anjani menjerit sekuat tenaga.
Anjani melihat satu tangan terulur kepadanya, menarik tubuhnya dari lilitan gurita. Wajah pemilik tangan itu tampak berkabut tetapi tangannya berhasil meredakan kesakitan di seluruh tulangnya. Seketika Anjani membuka mata. Seorang penumpang pesawat yang duduk di sampingnya menepuk-nepuk lengan Anjani. Pesawat kecil yang membawanya dari Medan ke Takengon ini oleng. Tetapi bukan itu yang membuat Anjani terbangun dari mimpi buruk.