Sejak kelahiran anakku, Aldy tak menampakkan dirinya bahkan untuk menemui anaknya sekalipun. Padahal saat ini anakku sudah berusia 1 bulan. Sedih dan tertekan hanya itu yang dapat aku rasakan saat ini. Sempat terlintas dalam otakku untuk mengakhiri pernikahan ini, aku sudah tak sanggup lagi.
“Buk,,, Aldy nggak ada kesini?” aku mendekati ibu yang tengah menidurkan Akbar
“Tidak ada.” Memberi isyarat pelan – pelan jika bicara
“Baiklah, aku ganti baju dulu.”
Setelah tertidur Ibu meletakkan Akbar ditempat tidur. Melihat wajah anakku yang begitu polos membuat hatiku kembali tenang dan bersemangat aku masih punya harapan yaitu “Akbar”
“Buk minggu depan aku wisuda.”
“Syukurlah, segera beritahu suamimu.”
“Bapak sama Ibu ajalah yang hadir.”
“Seperti apapun dia suamimu dek, kamu nggak bisa mengelak dari itu.” Mengusap rambutku lembut
Kukirimkan pesan singkat pada Aldy memberitahukan aku akan wisuda minggu depan. Seperti biasa tanpa balasan.
Aku mencoba mendatangi rumah mertuaku. Kali ini aku datang tidak sendiri aku ditemani Adrian dan Akbar
“Rumahnya gedhe mbak, tapi dalemnya macan semua.” Celetuk Adrian
“Jangan gitu ah dek.” Mencoba menenagkan hatiku sendiri, dalam hati terdalam kakiku enggan tuk melangkah
“Permisi Ma, Pa?” Ku ketuk pintu beberapa kali, namun tak ku temukan seorangpun membukakan pintu. Hatiku mulai gusar, Pertanda apakah ini Tuhan.?”
“Siapa ya?” Suara seorang lelaki parubaya, sembari berjalan membukakan pintu
“Kanza?” Mari masuk sini.” Begitu ramah dan hangat, diluar perkiraanku Papa begitu ramah, sangat berbeda dengan Aldy dan Mama.
Tuhan begitu baik disatu sisi aku tertekan atas sikap ibu mertua dan suamiku, Namun disisi lain Tuhan hadirkan penyejuk.
“Kok sepi pa?” aku mencoba mencari tahu
“Iya mamah sedang arisan, kalo Aldy pamitnya kerumahmu?” Apa kalian belum bertemu?”
Lagi – lagi Aldy menggunakan alasan yang sama, menemui Akbar padahal tidak pernah sekalipun dia datang menemui kami.
“Mungkin ketika saya keluar, Mas Aldy kerumah Pa.” Mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya.
“Mbak ini apaan sih? Jelas kita keluar nggak ada orang kan tadi!” Protes Adrian
Aku memberikan kode dengan kedipan mata, berharap Adrian paham maksudku. Aku hanya tidak ingin terjadi pertengkaran diantara keluarga kami.
“Ada apa Nak?” Papa mulai curiga dengan gelagatku
“Tidak apa Pa, oya saya kemari mengantarkan undangan seminggu lagi saya wisuda Pa.” menyerahkan sepucuk undangan
“Syukurlah, akhirnya salah satu dari kalian selesai juga jadi bisa focus ke Akbar cucu kakek ya nak.”Mengelus ubun- ubun Akbar.
Aku hanya mengimbangi kebahagiaan Papa dengan senyuman semu. Semoga ini awal kebahagiaan ku dan Aldy.
“Nanti Papa sampaikan ke Aldy agar dia mendampingimu.” Papa tersenyum. Terlihat keikhlasan dan kebahagiaan itu terpancar pada senyum Papa.
“Nanti kalua sudah lulus, pindahlah kesini biar Papa sama Mama bisa dekat dengan jagoan kecil ini.” Menyentuh pundak Akbar.
“Baik Pa.” masih dengan senyum semu, jelas ini bertentangan dengan batinku.
Egois memang jika aku menolak permintaan Papa untuk tinggal. Namun, Aku pun tak yakin dapat hidup Bahagia berdampingan dengan lelaki yang jelas tidak ku cintai meskipun kenyataanya dia adalah suamiku dan ayah dari anakku.
“Ya sudah Pa, Kami pamit pulang dulu.” Memberikan salam pada Papa, lalu aku bergegas pergi Bersama Adrian dan Akbar.
“Mbak ni apa – apaan sih? Jelas – jelas si brengsek itu nggak kerumah, pake ditutupin segala aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu mbak.!” Adrian protes dengan begitu emosi.
Aku hanya terdiam mencerna kata per kata yang Adrian ucapkan. Seolah bibirku kelu tak ingin menjawab ataupun melawan perkataan Adrian. Semu yaa semua begitu semu, aku sendiri tak mengerti apa yang seharusnya ku lakukan. Aku hanya tahu Tuhan selalu punya jalan keluar dan Tuhan akan memberikan pertolongan-Nya untukku serta hidupku.