BERNGA

Charlotte Diana
Chapter #1

BAB 1

Sekitar Pelabuhan Makassar

April 1815

Aku yang begitu kecil sedang berdiri di sebuah tanah lapang. Tak begitu jelas apakah tanah itu berumput atau berbatu, tetapi yang pasti tanah lapang itu bernuansa gelap, suram, berkabut, amat luas, dan tak kulihat ujungnya.

Sejauh jarak pandang yang dapat kulihat, aku berdiri hanya seorang diri. Tak ada hewan, apalagi tumbuhan. Namun tiba-tiba, ada sebuah titik muncul di seberang sana.

Jauh.

Atau mungkin sangat jauh.

Titik itu berkelip-kelip seperti suluh mungil yang menyala, seolah memberi tahu diriku bahwa di sana ada sesuatu.

Titik itu rupanya kian membesar.

Bergerak.

Mendekat.

Sesaat hatiku membuncah, karena aku tahu bahwa diriku tak lagi sendirian berkat titik itu.

Namun, tiba-tiba saja perasaanku mengatakan bahwa aku harus waspada.

Mendadak aku takut.

Ngeri!

Di detik itu pula, aku menyadari bahwa rupanya ada kabut di sekelilingku. Kabut itu mulai menghimpit tubuhku.

Sungguh! Kabut itu laksana gunung yang menimpa diriku.

Dalam kepanikan, aku berusaha menjauh.

Berlari, tetapi kabut itu menahan langkahku. Seolah mereka tak ingin aku beranjak dari tempat itu.

Tolong!

Tolong!

Semakin aku berteriak, semakin leherku tercekik.

Kakiku semakin berat, sementara titik itu mendekat.

Tolong!

Aku mendengar teriakanku begitu lirih, padahal aku sudah mengeluarkan segenap tenaga untuk berteriak sekeras-kerasnya.

Tolong!

Sekarang, aku malah mendengar titik itu begitu berisik. Berisik yang tidak jelas, bahkan tidak kukenali suaranya. Yang jelas, berisiknya itu mengalahkan teriakku minta tolong.

Ketika aku menoleh, titik itu rupanya sudah begitu dekat! Jaraknya hanya sekian langkah dariku.

Titik itu kini berwujud bola yang amat besar. Dan semakin besar. Bahkan sangat besar. Sebesar gunung. Namun bukan gunung yang indah karena ditumbuhi tumbuhan hijau. Yang ini mengerikan!

Warnanya pun bukan putih, tetapi bukan pula kuning. Titik itu tersusun dari banyak titik kecil, yang memiliki kepala dengan ujung berwarna kehitaman. Bergerak-gerak. Menggeliat-geliat, dan tidak bertulang.

Itu bernga[1].

Ya, itu bernga.

Sekumpulan bernga yang saling mengunci. Bertumpuk-tumpuk. Berlapis-lapis.

Dan sangat menjijikkan.

Seketika itu pula mereka menggilas tubuhku.

Melibas hanya dalam satu kali lewat.

Mereka menggigiti kulitku,

Lalu dagingku,

Lalu tulangku!

Dengan rakus.

Tanpa ampun.

           Hingga tubuhku yang ini sudah menjadi bangkai, lalu tak lagi berbentuk hanya dalam sekejap.

Yang tak kusangka, rupanya ada tubuhku yang lain, sedang berdiri menyaksikan tubuhku yang habis dilibas bernga.

Tubuhku yang lain itu hanya menyaksikan, tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukannya tidak ingin, tetapi memang tidak bisa! Tidak bisa, karena seperti … seolah-olah, dunia kami berbeda.

Diriku yang lain itu juga mual melihat bernga-bernga kelaparan.

Dadaku ikut terasa sesak.

Air mataku mengalir membasahi pipi.

Dan keringatku bercucuran membasahi seluruh tubuhku.

Tidaaaakkkk!!!

Tidaaaaaaaakkkkkkk!!!

Aku mendengar teriakanku itu, lalu aku terbangun.

Apakah cinta selalu berakhir indah? Tanyaku sambil terengah-engah. Pertanyaan itu langsung terucap dari bibirku tanpa pernah kurencanakan. Lalu aku menyadari bahwa yang barusan terjadi adalah mimpi.

Mimpi!

 Aku tak tahu mengapa diriku tiba-tiba saja mempertanyakan soal cinta, sedangkan mimpi yang membangunkanku di tengah malam seperti ini jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan itu.

Sungguh, aku tak mengerti makna mimpi itu, dan apa kaitannya dengan cinta yang kupertanyakan. Namun, keduanya benar-benar membuatku gelisah.

Yang semakin menggelisahkan, inilah kali ketiga aku memimpikan hal serupa. Kali ketiga pula aku mempertanyakan soal cinta, yang sekonyong-konyong terucap saat aku terbangun. Dan dari ketiganya, yang sekarang jauh lebih nyata serta menakutkan.

Sambil memeluk siku, aku menahan tubuhku agar tidak gemetar.

“Ah,” pikiranku mulai menebak-nebak, “semoga saja mimpi ini hanya karena akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan.”

Lihat selengkapnya