Mei 1815
Hujan abu masih belum berhenti sejak pertengahan April lalu. Udara juga terasa lebih lebih dingin dari biasanya, dan tentu saja gelombang laut beberapa kali masih sempat meninggi. Karena itulah, setelah barang-barang dipindahkan dari gudang milik Ali Muffakat ke Benoa, dan para awak juga telah selesai melakukan perbaikan kapal, kenyataannya aku tetap belum bisa berlayar ke selatan. Banyak kapal-kapal yang berasal dari Jawa, Borneo, Maluku, bahkan kapal asing dari Cina, Ceylon, Serawak, serta India juga terpaksa menunggu hingga kondisi cuaca sedikit lebih bersahabat.
Entah kapan kondisi seperti ini akan berakhir, tetapi aku berharap bisa segera berlayar lagi.
Untuk sementara waktu, aku memanfaatkan kondisi sekarang ini dengan berdagang. Paling tidak, aku ingin agar barang-barang dagangan yang ditimbun di Benoa bisa berganti untuk mengurangi kapang, jamur, serta kutu karena disimpan terlalu lama.
Aku lantas bergerilya menjual sebagian beras serta rempah-rempah seperti lada, cengkeh, dan pala. Aku menjualnya kepada penduduk Makassar, dan juga pedagang dari Jawa bahkan India dan Cina. Sebagian lagi rencananya akan tetap kusimpan di dalam Benoa untuk bekal perjalanannku ke selatan nanti.
Aku juga memiliki stok teripang dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebenarnya, aku bisa saja menjual teripang-teripangku kepada pelaut asal Cina. Apalagi, keuntungan yang kudapatkan dari penjualan teripang bisa kupastikan akan sangat banyak, lantaran komoditi ini sering dipakai untuk pengobatan di sana. Mereka biasanya mau membeli dengan harga tinggi. Hanya saja, aku seperti memiliki firasat yang tidak baik. Entah apa, tetapi seperti mimpi yang menggelisahkan waktu itu, untuk urusan teripang pun aku merasakan ada sesuatu yang begitu berat menahanku. Aku seperti tercekik jika harus melepas teripang-teripangku.
“Kau sungguh tidak ingin menjual teripang ini?” tanya Dabir heran ketika aku melarangnya mengeluarkan tong-tong penyimpanan teripang.
Aku mengerti. Seperti Dabir, aku pun sebenarnya ingin memanfaatkan keadaan semaksimal mungkin. Di saat banyak pedagang Cina sedang berkumpul di Makassar, seharusnya aku melepas teripang-teripang ini agar mendapat keuntungan lebih. Namun, untuk kali ini, entah mengapa, aku lebih memilih untuk mengikuti kata hatiku, lebih dari sekadar iming-iming memperoleh keuntungan besar.
“Aku ingin menjualnya, tetapi waktunya tidak sekarang,” jawabku singkat.
Setelahnya, aku melihat Dabir berbalik memunggungiku. Ia berjalan gontai ke arah rekan-rekan yang lain lalu bergabung bersama dengan mereka untuk memanggul karung-karung beras.
Jika hanya memikirkan keuntungan tinggi, sesungguhnya aku masih menyimpan komoditi lain yang hanya dengan menutup mata, aku bisa mendapat keuntungan berkali-kali lipat.
Harus kuakui bahwa kami juga menyimpan persediaan candu serta emas.
Kedua barang itu kuperoleh dari perdagangan di bawah tangan. Jika candu kudapatkan dari pedagang pesisir Laut Mediterania, emas kuperoleh dari pejabat-pejabat pemerintah lokal di Gorontalo. Namun, tak menutup kemungkinan aku juga mendapatkannya dari sesama pedagang.
Dua komoditi inilah yang semakin membuat kami kaya raya. Biasanya, jika kami berhasil menjual keduanya ke tangan yang tepat, keuntungannya mampu membuat kami menganggur cukup lama. Yang perlu kuwaspadai hanyalah proses jual belinya.
Biasanya, aku mengincar para pembeli dari golongan pejabat-pejabat pelabuhan, orang-orang kerajaan, atau bahkan oknum-oknum kompeni beserta saudagar kaya yang biasa madat sekaligus gemar menyimpan emas.
Aku, Dabir, beserta awak kapal yang lain sama-sama tahu soal candu dan emas. Kami biasanya saling bekerja sama. Sebagian bernegosiasi untuk memperoleh barang-barang itu dengan harga murah, sebagian lagi bergerilya mencari calon pembeli. Jika prosesnya telah selesai, keuntungannya langsung kubagi sama rata kepada seluruh awak.
Kupikir, saat ini aku perlu menjual dua komoditi itu untuk mengobati kekecewaan Dabir dan awak kapal yang lain. Mereka pasti sedang membicarakanku gara-gara teripang, dan aku tak ingin diriku menjadi bahan perbincangan para awak.
Keesokan harinya, aku menemui Dabir dan yang lain. Mereka terlihat senang ketika aku mencetuskan soal candu dan emas. Tanpa perlu bicara lebih, mereka bahkan sudah tahu apa yang harus dilakukan. Hanya dalam hitungan detik, aku sudah sendirian di atas Benoa, menunggu kabar selanjutnya dari mereka.
Beberapa hari setelahnya, berdasarkan informasi dari Dabir, aku mendatangi dua calon pembeli potensial yang masing-masing berminat dengan candu dan juga emas.
Sesuai prediksi, usai tawar-menawar harga emas dengan sengit, akhirnya aku melepas setengah dari stok emas yang kumiliki. Sebagai bayarannya, aku menerima koin-koin bernilai besar.
Namun, lain halnya dengan candu.
Usai proses jual beli candu selesai, mataku semakin terbuka.
Selama ini, orang-orang yang membeli candu dariku selalu menggunakan tanaman itu untuk kehormatan sekaligus kesenangan. Mereka adalah orang-orang kaya yang tak hanya menjadikan candu sebagai suguhan untuk tamu, tetapi juga menggunakan tanaman itu untuk mengisi waktu, karena uang mereka memang banyak.
Meski tak menutup kemungkinan, tetap saja ada orang dari kalangan bawah yang mencari candu dengan kualitas buruk sekadar untuk teman ngaso, atau bahkan hanya untuk meningkatkan nyali sebelum mencoleng.
Aku tak merasa harus memedulikan hal itu, selama pundi-pundi uang yang kumiliki terus mengalir, dan aku beserta para awak kapal yang lain bisa tetap hidup.
Sedangkan pembeli yang sekarang berbeda.
Pembelinya adalah seorang ibu yang anaknya mengalami cedera kaki saat terjadi gempa hebat akibat gunung meletus dua pekan lalu.
Pengakuan si ibu itu sekonyong-konyong membuatku terhenyak. Seumur hidupku, baru kali ini ada pembeli yang demikian! Bahkan, si ibu menceritakannya kepadaku dalam kondisi menangis karena tak tega melihat anaknya kesakitan akibat kakinya membusuk karena remuk. Ibu itu bahkan rela menyerahkan semua uang yang ia bawa untuk memperoleh candu.
Di saat itulah, untuk pertama kalinya aku merasa tertampar. Jika harus kuakui, selama ini aku selalu menutup mata atas semua aktivitas jual beli candu. Padahal, di luar sana ada orang-orang yang memang membutuhkan candu untuk pengobatan.
Aku lantas menghitung uang yang dibawa si ibu itu. Walau aku tahu jumlahnya belum sebanding dengan target yang kuinginkan, tetapi selama aku tidak rugi, akhirnya aku menyerahkan seluruh candu yang kumiliki untuk pengobatan anak si ibu itu.
Hal lain yang tak terduga, para awak Benoa yang berdiri di belakangku rupanya ikut tersenyum dengan keputusanku!
Hari itu, langitku benar-benar menyejukkan.
Sayangnya, di tengah kebahagiaanku, Ali Muffakat kembali muncul dengan wajah bak hewan buas.
“Kena kau!” katanya sambil menyeretku ke celah di antara dua dinding batu ketika aku sedang berjalan-jalan di sekitar pasar dekat pelabuhan.
Sontak aku meludahi wajahnya. Dalam hati aku bersumpah akan selalu merasa jijik dengan seringainya yang penuh nafsu itu.
“Mau apa kau, manusia tengik?”
Ia menyingkirkan ludahku dari wajahnya. “Sekarang, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri aktivitas ‘gelapmu’ itu!”
Pernyataan itu membuatku geli. “Kau menganggap candu dan emas yang kujual sebagai aktivitas gelap, tapi kau diam-diam menagih uang dari para pelangganku untuk kesenanganmu alih-alih pajak?”
Ali Muffakat menarik bagian depan kemejaku. Membawaku lebih dekat dengannya hingga mata kami sejajar. “Dengar, ‘gelap’ yang kumaksud adalah karena kau menjualnya tanpa melibatkan aku.”
Aku terkesan dengan pengakuan Ali Muffakat, tetapi— “Apa hakmu mencampuri urusanku?”
“Pasang telingamu baik-baik!” Aku mencium aroma tembakau dari mulutnya, dan bagiku, aroma itu menjijikkan. “Jika kau berbuat seperti ini sekali lagi, jangan heran bila semua orang di wilayah ini akan mengetahui identitasmu, wanita busuk!”
Penyataan itu seperti memantik ketakutanku. Namun di sisi lain, aku semakin terkesan karena ia ternyata mengetahui jenis kelaminku yang sesungguhnya. Meski begitu, sekalipun identitas asliku sedang dipertaruhkan, aku tetap tidak mau terlibat apa pun dengannya.
“Apa sebenarnya yang kau mau?”
“Aku memiliki sejumlah komoditi yang perlu dijual. Melihat kemampuan berdagangmu dan karena dermaga sedang padat akibat hujan abu, aku ingin kau menjadi agen dalam penjualan sejumlah komoditi milikku. Kau kuberi sebagian hasil penjualan, dan kupastikan kau akan kaya.”
Aku memercayai jika ia mengatakan akan memberi jaminan kekayaan untukku. Manusia mana yang tidak ingin kaya raya? Sayangnya, aku sama sekali tidak menyukai sosok serta tabiatnya, sekalipun aku penasaran dengan bisnisnya.
“Komoditi apa?” tanyaku sekadar ingin tahu.
Ali Muffakat mendekatkan wajahnya ke wajahku, seolah-olah menilai dari setiap kerutan di wajahku. “Akan kukatakan setelah kau setuju.”
Oh, ya? Aku memiliki caraku sendiri dalam berdagang, dan aku tak ingin ia menjadi bagian dari sistem yang telah kubuat atau sebaliknya.
“Sayangnya, aku tidak mau!”
“Jika kau menolaknya, maka dalam waktu tujuh hari, seluruh penduduk dan pelaut di wilayah ini akan mengenalimu bukan lagi sebagai ‘Elias’ melainkan ‘Shresti’!”
***
Hampir tujuh puluh dua jam aku tidak melihat wajah Ali Muffakat. Namun, bukan berarti hidupku bisa tenang. Di dalam kabin Benoa, aku masih berjalan mondar-mandir memikirkan keputusan terbaik yang harus kuambil dari ancaman yang dilontarkan syahbandar tak tahu malu itu.
Informasi yang dimiliki Ali Muffakat tentang diriku tidak bisa kuanggap sepele. Jika dia sudah mengetahui nama asliku sebagai wanita, aku menduga ia pun mengetahui masa laluku sebaik diriku sendiri. Apa yang ia mau dari masa laluku?
Sebenarnya tidak ada yang menarik dari masa laluku. Bahkan, diceritakan pun akan terdengar membosankan.
Yang menarik justru pekerjaanku saat ini. Jika dia hendak menghancurkan jalur perdagangan candu serta emas milikku, seharusnya malah dia yang dirugikan. Toh dia selalu mendapat keuntungan dari seluruh transaksi di bawah tangan, termasuk dari para pelangganku. Aku mengetahuinya dari salah seorang pelaut Cina yang dengan penuh kekesalan menyampaikan kepadaku jika dirinya tak mau membayar lebih hanya karena ia kerap dimintai uang oleh si Tambun itu.