BERNGA

Charlotte Diana
Chapter #3

BAB 3

Empat hari setelahnya, kami benar-benar meninggalkan Makassar. Perjalanan kami sudah lebih dari lima jam sejak meninggalkan pelabuhan.

Sekalipun gelapnya malam begitu pekat, aku masih bisa membayangkan Benoa sedang berlayar. Dengan badan kapal yang terbuat dari kayu yang tebal. Dua tiang layar utamanya berbentuk segitiga, menjulang kokoh yang masing-masing menahan layar segi empat. Dari kejauhan, jenis kapal padewakang milikku ini pasti sangat mengagumkan.

Sambil menghirup udara dalam-dalam, aku benar-benar puas dengan perbaikan yang sudah diusahakan para awak waktu itu. Terlebih kami sudah bisa berlayar hingga sejauh ini. Aku juga puas dengan keputusanku yang mungkin dianggap terburu-buru oleh Dabir dan rekan-rekannya.

Dan jika mengingat seluruh aktivitas yang terjadi selama empat hari terakhir, rasanya kepuasanku sudah berada di puncak.

Misalnya saja ketika aku masih tawar-menawar harga kain dengan salah satu pedagang Cina. Pedagang-pedagang Cina itu rupanya sedang meributkan masalah cuaca.

Tentu saja aku tak ingin membuang kesempatan begitu saja. Sekalipun pembicaraan mereka yang tidak sepenuhnya dapat aku mengerti, tetapi aku masih bisa menangkap garis besarnya.

Rupanya, mereka memiliki ketakutan soal kabar gunung meletus yang belum lama terjadi. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa udara yang ada di langit Makassar seperti sedang menceritakan sebuah penderitaan yang amat sangat. Sebagian dari mereka yang bisa membaca tanda-tanda alam dari perhitungan angka-angka, juga mengatakan bahwa dampak bencana letusan gunung ini sepertinya akan terus dirasakan untuk waktu yang cukup lama. Selama apa memangnya?

Kesimpulan yang bisa kupetik dari pergunjingan mereka yaitu: aku hanya cukup tahu, tetapi tidak perlu memedulikan apa serta berapa lama bencana yang dibicarakan oleh para saudagar Cina itu. Aku cukup hanya mendengarkan, tanpa perlu berpikir yang tidak-tidak. Yang jelas, aku memerlukan kain-kain dan sedikit porselin milik mereka untuk bisa kujual lagi nanti. Terlebih komoditi yang mereka tawarkan memiliki kualitas yang baik.

Ya, berhubung proses tawar-menawar telah selesai, aku menjatuhkan sejumlah koin ke tangan pedagang Cina itu, lalu kembali ke kapal.

Hari berikutnya pun tidak jauh berbeda. Aku membeli beberapa botol arak dari pelaut asal Batavia. Walau rasanya tidak seenak arak yang pernah diberikan Bastian kepadaku, tetapi yang kubeli ini rasa dan aromanya cukup lumayan. Paling tidak, arak itu akan terus mengingatkanku padanya.

Bagaimanapun, aku perlu mengingat orang itu sebelum telingaku mendengar langsung penjelasan darinya soal identitas asliku yang ia bocorkan kepada Ali Muffakat. Meski aku benar-benar tidak berharap dirinya adalah seorang pengkhianat.

“Sepertinya abu dari letusan gunung berapi beberapa pekan lalu belum berhenti.” Suara Dabir serta sinar lampu yang ia bawa tiba-tiba saja mengagetkanku. Ketika aku menoleh, aku melihatnya sedang meniup abu yang bertaburan di tangannya.

Aku mendengus kuat-kuat agar abu itu menjauh dari wajahku. “Ya. Sepertinya semakin ke selatan abunya semakin banyak,” balasku. “Tapi bukan berarti kita harus menyerah lalu berbelok arah, kan?”

Dabir mengangguk. Ia duduk di tumpukkan tali sambil memandangku lekat-lekat. “Benar katamu, anak muda. Bagaimanapun kita harus berlayar Bima untuk bertahan hidup.”

Dabir serta awak yang lain sudah biasa memanggilku seperti itu karena kenyataannya memang mereka jauh lebih tua dariku. Dalam pembicaraan pribadi—maksudku topik selain masalah pekerjaan dan semua yang berhubungan dengan kapal, mereka selalu memanggilku begitu. Entah apa alasannya, tetapi aku selalu menganggapnya karena kami adalah keluarga.

Sayangnya, kali ini aku belum terlalu mengerti arah pembicaraannya. Walau demikian, aku suka berdiskusi dengannya. “Ya. Aku mendapat kesan, dampak abu ini akan masih terasa hingga beberapa waktu ke depan.”

“Oh!” seru Dabir dengan nada terkejut. “Sungguhkah?”

Aku mengangkat kedua bahu. “Yang kudengar begitu.”

“Kalau begitu, kuharap pendengaranmu salah.”

Aku menyandarkan kedua siku pada batang kayu yang memalang di belakangku. “Bagaimana jika ternyata benar?” tanyaku ketika mengingat pergunjingan para pedagang Cina.

Bayangan menutupi sebagian wajah Dabir. Sekalipun aku tidak dapat melihat keseluruhan wajahnya, tetapi aku tahu dia sedang berpikir.

“Jika demikian, mengapa kau memutuskan untuk berlayar sekalipun sudah mendengar bahwa dampak abu ini mungkin akan lama? Tidakkah kau …” Ia lalu menggerak-gerakkan tangannya. “Sudahlah, lupakan saja!”

Kesan yang kutangkap dari cara Dabir menyampaikannya padaku adalah sebaliknya. Aku justru melihat bahwa sesungguhnya ia tak ingin aku melupakan itu. Apakah ada sesuatu yang Dabir sembunyikan dariku?

Buru-buru aku meninggalkan prasangka itu, Namun bila aku tetap harus menjawab pertanyaannya, sejujurnya aku tidak siap. Aku belum sanggup menanggapi pertanyaan apa pun dari para awak mengenai alasan sesungguhnya yang melatarbelakangi keputusanku untuk berlayar ke selatan.

Pada dasarnya, aku memang tidak menyukai Ali Muffakat. Sosoknya, berikut dengan tabiat buruknya selalu saja mengingatkanku pada bernga-bernga yang memakan habis bangkai yang malang itu. Belum lagi bila dikaitkan dengan informasi mengenai persewaan gudang untuk tempat pengungsian. Bagiku, dia benar-benar bernga rakus! Jadi, jika aku berlayar ke Bima dan menjauh darinya, aku pikir hidupku akan jauh lebih baik.

Namun, ada alasan lain yang lebih utama.

Dan alasannya karena dia sudah mengancamku.

Biarlah ia bertindak sesuka hatinya, tetapi aku harus harus pergi. Aku pergi karena aku anak buahku harus tetap hidup. Aku pergi juga karena ingin menyusul Bastian. Siapa tahu kami dipertemukan untuk ketiga kalinya. Toh yang kutahu, Bastian juga berlayar ke Bima. Dan bila kesempatan itu benar-benar ada, aku ingin menanyakan soal Ali Muffakat kepadanya, kalau perlu menampar wajahnya jika memang dia benar-benar mengakui perbuatan busuknya. Itu saja sebenarnya.

“Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, bukan berarti kita harus menyerah, kan?” jawabku. “Jika tidak berlayar dan berdagang, bagaimana kita dapat memperoleh penghasilan?”

Aku tahu Dabir hendak menanggapi. Sayang, reaksinya hanya sampai membuka mulut lalu menutupnya lagi tanpa berkata-kata. Tampaknya, kali ini ia sedang tidak ingin berdebat.

“Melihat sikapmu ini, aku teringat akan Bastian.” Di luar dugaan, Dabir tiba-tiba menyeletuk dan mengalihkan topik pembicaraan kami.

Mengapa Dabir tiba-tiba membahas soal pria itu? Tidak adakah pembahasan lain yang lebih masuk akal?

“Apa hubungannya?” Aku memutar tubuhku. Membelakanginya, agar ia tidak bisa melihat wajahku. Aku tak yakin bagaimana rupaku ketika mendengar nama Bastian, dan aku tak ingin Dabir menerka yang bukan-bukan.

“Lupakanlah!”

Dua kali ia menyuruhku melupakan hal-hal yang sebenarnya ingin kuketahui. Kurasa, perilakunya kali ini sedikit aneh.

Selebihnya, masing-masing kami hanya terdiam sambil mendengar suara ombak serta embusan angin. Entah berapa lama kami membiarkan keadaan menjadi sunyi. Satu-satunya penerang kami hanyalah lampu yang dibawa oleh Dabir. Dan aku berharap, lampu itu tidak cepat-cepat padam.

“Dulu, Jika kita tidak ditolong oleh Bastian beserta anak buahnya, kita pasti sudah miskin atau bahkan mati di tangan perompak!” gumam Dabir pada akhirnya untuk memecah kesunyian.

Pernyataan itu nyaris terbawa angin. Beruntung aku masih bisa mendengarnya walau sayup-sayup.

“Kau mengingatnya?” Dari balik bahu, aku menoleh lalu melihatnya sedang menatap langit sambil berlutut. Mungkin ia sedang bersyukur karena waktu itu kita memang tidak jadi miskin atau bahkan mati.

Lihat selengkapnya