Hari masih siang ketika Benoa melihat daratan di sekitar Teluk Bima muncul sebagai garis cakrawala. Langit di atasnya, masih ada semburat-semburat warna kemerahan yang menunjukkan sisa-sisa letusan gunung berapi. Sedangkan bagian sisi bawah cakrawala, kami bisa melihat ratusan batang pohon tumbang memenuhi perairan sekalipun dari jarak yang masih jauh. Semakin kami mendekat, kami menyimpulkan bahwa menambatkan kapal di Teluk Bima tak semudah di Makassar.
Karena itulah kami terpaksa meninggalkan Benoa beberapa mil dari garis pantai dalam penjagaan Boro dan Gau. Kebetulan mereka berkukuh tidak ingin turun dari kapal.
Aku, Tinro, serta Dabir akhirnya melanjutkan perjalanan menggunakan rakit.
Sembari mengayuh, kami pun berjuang menyingkirkan puluhan, bahkan ratusan batang pohon yang memenuhi perairan. Belum lagi suasana mencekam usai bencana masih membuat bulu kudukku berdiri.
Semakin dekat dengan daratan, ternyata tidak hanya batang pohon yang menutupi perairan. Aku melihat bangkai hewan yang mengambang dengan jumlah yang tak lagi terhitung. Bangkai-bangkai ini tidak semuanya utuh. Dan hampir seluruhnya terselimuti oleh abu. Aku bahkan tidak lagi dapat mendeskripsikan aroma yang kucium. Antara memuakkan, tetapi juga memilukan.
Sepanjang perjalanan, Tinro juga tak habis-habisnya bersiul. Awalnya, suara siulnya terdengar pelan, tetapi lama-kelamaan semakin kencang.
Dabir berdecak kemudian menatapnya tajam. “Apakah kau menyadari bahwa siulanmu itu dapat mengundang malapetaka?”
“Aku bersiul hanya supaya bulu kudukku tidak berdiri,” ungkapnya.
Aku menatapnya, lalu menatap Dabir. “Sepertinya di sini sepi sekali. Tak heran bila suara siulan ringan, rasanya terdengar seperti teriakkan.”
Tinro meringis, tetapi langsung menghentikan siulannya.
“Ayo, kita harus mencapai daratan sebelum gelap!” ajakku kepada mereka.
Kami terus mendayung rakit. Keadaan sekeliling kami belum berubah, bahkan sekarang laju rakit kami terhambat oleh daun-daun kering yang jumlahnya banyak sekali. Kaki kami pun semakin terasa gatal karena terkena air laut yang telah dipenuhi bangkai.
Di tengah-tengah keheningan, sekonyong-konyong rakit kami oleng setelah Dabir mengentakkan dayungnya. Di saat yang bersamaan, aku mendengar ia menyumpah. Aku nyaris saja terlempar ke air. Beruntung Tinro segera meraih tanganku.
Rupanya rakit kami tersangkut akar pohon yang berada di dalam air. Aku dan Tinro baru mengetahuinya setelah kami menyaksikan Dabir menyibukkan diri untuk menyingkirkan akar pohon, dan sama sekali tak menghiraukan kami berdua.
“Maaf.”
Hanya kata itu yang Dabir ucapkan setelah nyaris membuatku jatuh ke air laut yang jorok. Walau aku tak mengharapkan lebih, tetapi sikapnya sedikit berubah akhir-akhir ini. Tidak biasanya ia berlaku kasar.
Tinro menatapku sembari mengangkat kedua bahunya menyaksikan peristiwa barusan; aku hanya merespons dengan menaikkan kedua alis.
Semakin lama kami mengayuh rakit, semakin aku merasakan kehidupan di dunia yang berbeda.
Samar-samar kami mendengar suara gemuruh yang dalam. Mirip seperti seseorang dengan penyakit paru yang sedang berdeham, tetapi yang ini lebih mengerikan. Beberapa kali pun kami saling berpandangan. Mata kami semakin waspada kalau-kalau bahaya tiba-tiba datang menghadang kami.
Kini, air laut semakin dangkal. Jika ini di Makassar, mungkin aku akan turun dari rakit, lalu mencapai daratan dengan berjalan kaki. Menurutku, itu akan jauh lebih cepat. Namun, situasi di sepanjang Teluk Bima tidak bisa disamakan seperti itu.
Kami mulai melihat lalat-lalat mengerumuni bangkai ayam dan unggas-unggas yang … aku tidak tahu bagaimana mereka mati, tetapi keadaannya sudah sangat mengenaskan. Ada yang tubuhnya utuh menggelembung berselimut abu, ada juga yang sudah setengah hancur. Yang pasti, kami sampai harus menutup hidung dan berusaha menyesuaikan diri dengan aroma anyir sekaligus tengik itu.
“Situasinya benar-benar berbeda dengan yang kita pikirkan sebelumnya!” Dabir bergumam pada diri sendiri, tetapi firasatku mengatakan, ia sengaja mengucapkannya untuk menyindirku dan Tinro.
Aku mencoba tetap berpikir jernih.
Yang ia ucapkan sekarang memang betul, tetapi kurasa aku tidak perlu menanggapinya. Sebab, Aku pun sama sekali tidak menduga jika Teluk Bima yang pernah kudatangi beberapa tahun silam sudah benar-benar berubah. Yang sekarang amat sangat menyeramkan.
Aku masih bisa mengingat keramaian di sini. Suara gemercik air saat para saudagar mengayuh rakit atau perahu mereka. Keramaian dari setiap celoteh mereka yang saling tawar-menawar barang dagangan, atau bahkan sekadar suara burung-burung yang berkicau. Burung-burung itu hinggap di dahan-dahan pohon di pesisir, lalu terkikik ketika memerhatikan ulah manusia-manusia yang saling beradu urat ketika berebut barang-barang bernilai tinggi.
Itu merupakan ingatan yang indah!
Namun, kali ini semua yang indah itu tidak ada lagi.
Pohon-pohon besar yang dulu tampak gagah, sekarang tumbang. Akar-akar mereka mencuat lalu terbalut oleh abu. Tidak ada lagi keramaian, tidak ada lagi kicauan burung, tidak ada lagi tawar-menawar dari para saudagar.
Sembari menggelengkan kepala, aku mendorong dayung agar rakit kami maju perlahan. Di depanku, Dabir serta Tinro bahu-membahu menyingkirkan batang pohon yang menghalangi rakit kami. Ketika mereka berhasil membuka jalan air, aku menggerakkan dayung. Sedikit demi sedikit rakit kami bergerak, sampai akhirnya menyentuh tanah.
Melihat situasi yang sungguh mengerikan ini, pikiranku kembali bertanya-tanya mengenai keberadaan Bastian. Apakah pria itu masih ada di sini? Masih hidupkah ia? Di mana ia sekarang? Aku merasakan diriku hampir gila mencari tahu jawabannya.
Dan di titik ini, entah mengapa, aku sangat ingin berdoa. Sesuatu yang tidak pernah lagi kulakukan sejak orang yang merawatku meninggal dunia. Sayangnya, aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan doa yang benar. Aku hanya bisa memejamkan mata. Lalu … mulutku hendak berkata-kata, tetapi aku tetap saja bergeming. Berulang kali mencoba, tetapi masih gagal.
Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan!
Aku menarik napas dalam-dalam, dan sekali lagi memejamkan mata.
Akhirnya aku membayangkan satu lubang putih kecil yang mana aku harus melewatkan keinginan hatiku di lubang itu. Dua kali. Empat kali. Enam kali aku mencoba, akhirnya aku merasakan keheningan sekaligus kedamaian di sana.
Di dalam kedamaian itulah, hatiku mulai berbicara, sekalipun mulutku tetap diam. Hatiku seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sayangnya, aku sama sekali masih tak mengerti maksudnya.
Bagaimana mungkin aku bisa setuju bahwa semua akan baik-baik saja? Sementara, mataku sendiri melihat keadaan sekeliling jelas-jelas sedang tidak baik. Keberadaan Bastian, apa yang terjadi dengannya, serta segala rencana jahat yang mungkin sedang dirancangkan olehnya juga masih membayangi langkahku.
Apakah itu benar-benar suara hatiku? Ataukah suara iblis yang hendak menipuku?
Aku kembali mencari-cari lubang putih itu dengan khusyuknya.
“Kita sudah sampai!” suara Tinro sekonyong-konyong bergaung di telingaku.
Sontak, suasana khusyuk itu porak-poranda.
Aku membenci gangguan macam itu. Lubang putih yang tadi sempat kubayangkan mendadak hilang dari pandangan. Aku sedikit kesal karena Tinro seolah tidak mau tahu dengan badai yang terjadi di dalam hatiku.
Mau tidak mau aku harus membuka mata. Di depanku, Dabir rupanya sedang menancapkan tombak ke tanah, semantara Tinro dengan semangat mengikatkan rakit kami.
“Sungguh tanah ini seperti kena kutukan,” nilai Dabir. Ia menepuk-nepuk tanah di tempat ia menancapkan tombak. Ia lalu mengibaskan tangannya yang kotor sembari menatapku. “Dan semoga yang menginjak tanah ini tidak ikut dikutuk.”
Aku hanya medengus ketika mendengar ucapan itu. Tak peduli sindiran apa lagi yang akan ia lontarkan, tetapi aku sama sekali tidak merasa dikutuk. Toh tujuanku ke tempat ini bukan untuk sesuatu yang jahat. Selama aku masih bisa bernapas, aku akan terus berjalan dan berbuat sesuatu. Itu saja.
Segera aku melewati Dabir dan langsung merasakan tatapannya menusuk punggungku. Entah ada apa dengannya, tetapi aku berjuang keras untuk tidak menghiraukannya.