BERNGA

Charlotte Diana
Chapter #5

BAB 5

Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Berulang kali aku mengubah posisi berbaring, tetapi mataku tak bisa tertutup.

Malam itu, jika aku harus menggambarkan situasi neraka, maka tanah tempatku meletakkan kepala, itulah nerakanya.

Sekujur tubuhku terasa panas. Hatiku seperti dicabik menggunakan parang berkarat. Kepalaku pening bak dipentung dengan pasak kemudi kapal, dan dadaku sesak seperti dibekap kain layar.

Di neraka dunia ini, aku berjuang menahan amarahku terhadap para awak, khususnya Dabir. Seluruh ucapannya masih berputar di kepalaku. Aku sudah cukup tersakiti dengan kata-kata yang menyebut bahwa aku tidak memiliki keluarga. Namun, hatiku semakin tersakiti karena sebuah pengkhianatan.

Ya … memang aku bahkan tak mengenal orang tuaku, tetapi selama ini, aku sudah menganggap dia, Tinro, dan yang lain sebagai keluargaku. Para awak, yang dari usianya bahkan pantas kupanggil orang tua, sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Kami berlayar bersama, mencari uang bersama-sama, membagi keuntungan bagi para awak sama rata, rupanya itu tak cukup membuatku dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka!

Dan yang lebih menyakitkan, pengkhianatan itu datang dari seseorang yang sudah kuanggap sebagai keluarga. Keluarga yang seharusnya bisa kupercayai.

Aku tak habis pikir dengan Dabir. Hanya karena ia merasa aku tak memedulikan keluarganya, ia langsung mengambil tindakan balas dendam.

Mengapa ia harus balas dendam dengan cara seperti ini?

Mengapa ia tidak bercerita mengenai keluarganya yang membutuhkan tempat untuk berlindung?

Mengapa ia tak terus terang saja denganku jika ia ingin pergi mengurus keluarganya?

Mengapa harus aku yang dikhianati? Mengapa harus aku yang disakiti?

Mengapa?

Mengapa?

Malam ini adalah malam paling kelam selama aku hidup. Aku yang tersakiti ini bahkan masih harus menahan amarah sekaligus menanggung luka, sementara orang yang menyakitiku tertidur pulas tak jauh dari tempatku karena suara dengkuran mereka terdengar begitu keras.

Malam ini, kami bertiga terpaksa tidur di atas ilalang karena di sekeliling kami gelap gulita. Pertengkaran kami pun berhenti karena hari sudah malam, dan kami tak lagi bisa melihat satu sama lain dengan jelas.

Besok, besok pagi, aku harus menyelesaikan semuanya. Aku harus mengambil keputusan untuk anak buahku. Aku juga perlu memberi jawab untuk dua orang asing yang malam ini entah ada di mana.

Namun, keputusan apa yang harus kuambil? Dan jawaban apa yang harus kuberikan kepada dua orang itu?

***

Menjelang tengah hari keesokan harinya, Gau dan Boro menyambut kami bertiga di geladak Benoa. Senyum mereka mula-mula merekah ketika melihat kami kembali. Namun, hanya dalam hitungan detik, senyuman itu berubah menjadi kerutan penuh tanya.

“Apa yang terjadi?” tanya Gau bingung. Ia menatap kami bertiga satu demi satu.

Boro melihat kami semua, lalu tersenyum kaku. “Apa yang kalian temukan di sana?”

Dabir menarik napas panjang, lalu melirikku; aku menjauh dari mereka semua, lalu duduk di atas salah satu tong air.

“Banyak hal yang terjadi, yang memaksaku untuk mengambil sebuah keputusan,” ungkapku sambil berusaha tersenyum. “Dan keputusan itu merupakan sebuah pilihan untuk kalian semua!”

Gau sepertinya membaca situasi yang tidak baik di antara kami. “Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi?”

“Semalam, Dabir mengungkapkan bahwa dia,” Satu tangan Tinro menunjuk diriku, “adalah seorang wanita.”

Berani-beraninya Tinro menghasut? Seandainya aku menggenggam pisau, akan kulemparkan pisau itu ke leher Tinro. Karena tidak ada, aku hanya bisa mengepalkan tangan, dan menahan seluruh amarahku.

Gau dan Boro langsung menatapku dengan tatapan menilai, kemudian ganti menatap Tinro serta Dabir.

Gau mendengus, lalu bertanya pada Dabir. “Kau tahu dari mana jika dia wanita? Selama ini, aku bahkan tidak menyadarinya.”

Dabir membuang ludahnya ke laut. “Selama ini, aku selalu merasa ganjil dengannya. Namun, aku tetap diam karena tak memiliki bukti apa pun. Sampai suatu saat, Bastian yang begitu berani itu juga menyadarinya, lalu bertanya kepadanya. Waktu itu, aku tidak hanya mendengar, tetapi juga melihatnya langsung, ketika dia mengakuinya di hadapan Bastian dengan sebuah anggukkan.”

“Berarti selama ini kita tertipu olehnya?” simpul Boro.

Dabir mendengus. “Kau bisa menyimpulkannya sendiri, bukan?”

“Jadi, kau adalah wanita muda yang berusaha mengakali kami para orang tua?” tanya Boro dengan nada tersinggung. “Berani-beraninya kau membohongi kami?”

Gau tersenyum kaku. “Apakah kau mengerti dampak dari semua ini, Anak muda? Dengan menipu kami, sama saja kau merusak keluarga kami.” Ia mengganti tumpuan kakinya sebelum melanjutkan. “Istri serta anak-anak kami hanya tahu jika kami pergi berlayar untuk mencari nafkah. Bagaimana jika mereka akhirnya tahu jika kau adalah wanita? Tidakkah mereka akan menuduh kami yang tidak-tidak? Tidakkah istri-istri kami akan marah karena mengira kami pergi berlayar untuk bersenang-senang dengan wanita?”

“Dan tidakkah kau berpikir bagaimana jika penduduk di Makassar sampai mengetahui kebohonganmu?” timpal Tinro.

Aku mengalihkan tatapanku pada Dabir, tetapi ia memalingkan muka. Namun setelahnya, keadaan menjadi sunyi sampai akhirnya aku berdiri untuk menegaskan keputusanku. Sembari mengepalkan tangan, aku berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahanku sebelum aku menyampaikan maksudku.

“Yang perlu kalian tahu, inti permasalahannya bukan soal identitasku, melainkan soal keputusanku untuk singgah di sini sementara waktu. Dan karena di sini baru saja terjadi bencana, kurasa tujuan kita di sini tidak bisa dikatakan untuk mencari keuntungan.”

Aku berhenti untuk melihat reaksi Gau dan Boro. Namun rupanya, mereka masih bergeming. “Jadi, aku hendak menawarkan kepada kalian. Jika kalian mau ikut denganku, kita akan singgah di sini untuk beberapa waktu yang belum bisa kupastikan. Setelahnya, baru kita melanjutkan perjalanan sesuai rencana, yaitu Bali dan Gresik. Namun jika kalian tak setuju denganku, aku akan membagi keuntungan yang sudah kita peroleh saat masih di Makassar, lalu silakan meninggalkan kapal ini.”

Usai menyampaikan seluruh isi kepala, lututku seakan tak kuat lagi untuk berdiri. Belum lagi, kini para awak menatapku dengan tatapan kekecewaan sekaligus kemarahan. Sepertinya, aku memerlukan tambahan tenaga untuk sekadar mempertahankan tulang-tulangku tetap tegak. Sayangnya, aku tidak tahu kepada siapa aku harus meminta pertolongan.

“Kau semena-mena, Anak muda!” tuduh Boro.

“Bagaimana mungkin kau menuduhku semena-mena, Boro?” Karena ia belum menjawab, aku punya kesempatan untuk menjelaskan lebih. “Kau bisa bertanya pada Tinro dan Dabir. Sejak awal, aku sudah menawarkan kepada mereka berdua, bahwa keputusanku adalah untuk singgah di sini sementara waktu. Sayangnya, mereka berdua tidak setuju dengan berbagai alasan. Hingga akhirnya membahas soal diriku yang adalah seorang wanita.”

“Tidakkah hidupmu akan jauh lebih mudah jika saat ini kita segera mengangkat jangkar lalu segera pergi dari sini, Anak muda? Bukankah kita berlima sudah lengkap saat ini?”

Aku tidak memahami maksud ucapan Tinro, tetapi aku akan tetap dengan keputusanku. “Aku tidak bisa. Pilihannya hanya ada dua. Setuju denganku, atau silakan keluar dari kapal ini!”

           Gau serta Tinro hanya menggeleng. Entah apa maksudnya, tetapi kurasa mereka tetap tidak bisa menyetujui keputusanku. Dabir masih bergeming. Sedangkan Boro mendesah lesu.

           Situasi seperti ini tidak pernah kuharapkan sebenarnya. Aku tidak ingin semua terjadi. Namun, karena mereka sudah telanjur mengetahui identitasku, sudah menghakimiku seperti seorang anak kecil yang kedapatan mencuri, bahkan di antara kami juga sudah saling menyakiti, mau tidak mau harus kuhadapi. Mau tak mau aku harus mengambil keputusan, yang sebenarnya juga sulit untuk kujalani.

Di satu sisi, aku tidak ingin kehilangan awak yang sudah sangat berjasa dan sudah kuanggap seperti keluarga. Di sisi lain, aku takut karena mereka sudah mengetahui identitasku. Aku tak membayangkan, bagaimana jadinya bila di tengah laut nanti mereka memandangku sebagai penipu sekaligus seorang wanita lemah yang tidak bisa apa-apa, lalu mereka bertindak semena-mena seolah aku adalah daging yang bisa dilahap dengan alasan untuk balas dendam. Sekalipun aku tahu mereka adalah pria-pria penyayang keluarga, tetapi saat ini aku benar-benar tidak siap untuk berlayar bersama mereka. Dan tawaran untuk ikut denganku tadi, tak lebih hanya sekadar sopan santun.

Yang jelas, jalan pikiran kami sudah berbeda. Dan itu tidak bisa dipaksakan.

Bagiku, tidak ada pilihan lain selain menanyakan langsung keputusan mereka. Dan oleh karenanya, aku mengulang lagi pilihan-pilihan itu.

Mereka kutanya sekali lagi satu demi satu.

           “Jika kau berkeras ingin menetap sementara di sini dan tidak mau kembali ke Makassar, aku harus meninggalkanmu dan kembali demi keluargaku.” Dari balik kain yang melilit leher serta mulut, Dabir berbicara mendahuli rekan-rekannya.

           “Aku pun ikut kembali ke Makassar.” Boro melirikku sekilas.

           Gau dan Tinro saling berpandangan. “Bagaimanapun keluarga kami terkena dampak letusan gunung meletus. Namun, kami harus tetap mendapat keuntungan demi keluarga. Kami akan ke Gresik.”

Ini sudah keputusan mereka yang tidak bisa kucampuri lagi.

Mereka mengemasi barang-barang, dan mengatakan bahwa masih ada kesempatan untuk menumpang kapal lain yang melintas di sekitar Teluk Bima. Sambil menunggu mereka selesai berkemas, aku menyiapkan beberapa koin hasil penjualan kami sewaktu masih di Makassar, kemudian aku akan menyerahkan uang-uang itu kepada mereka. Mereka juga mengambil beberapa makanan yang menjadi persediaan kami di kapal, sebelum akhirnya meninggalkan Benoa.

Ketika koin-koin berpindah tangan, satu demi satu mereka menatapku tanpa sepatah kata pun. Namun aku tahu, dalam hati mereka mengucapkan terima kasih. Mata mereka pun seolah mengatakannya juga.

Selebihnya, tidak ada kata-kata perpisahan dan juga ucapan maaf.

Baik dariku,

Maupun dari para awak.

***

Sepeninggal para awak, di Benoa hanya ada aku seorang. Aku berdiri di dekat salah satu tiang layar, tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku ingin kembali kepada kedua orang asing yang kutemui kemarin, tetapi aku tak bisa meninggalkan Benoa terombang-ambing tanpa awak di lautan lepas. Belum lagi, Benoa masih sarat dengan barang-barang dagangan, dan juga persediaan makanan yang kami bawa dari Makassar.

Namun, tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri. Aku melihat seperti ada bayangan lewat di sisi kiriku.

Aku menoleh, tetapi tak ada siapa pun.

Lihat selengkapnya