BERNGA

Charlotte Diana
Chapter #6

BAB 6

“Kami ingin mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku dan juga istriku,” ungkap La Husni kepadaku saat kami sedang menikmati makan malam yang amat sederhana. Kami menyantap ikan yang kubawa sebagai persediaan untuk makan dari Makassar.

Aku tertunduk sambil menatap ikan yang hanya setengah ekor. Itu tidak mengenyangkan sebenarnya, tetapi melihat bangkai-bangkai ikan yang mati karena cemaran abu, aku tak yakin bisa memperoleh ikan yang layak makan di perairan ini.

Aku mengangguk. “Namun sebenarnya, kau tak perlu berterima kasih padaku karena kedatanganku ke sini sebetulnya karena tujuan lain.”

La Husni menelan makanannya, kemudian bertanya, “Kau sedang mencari sesuatu? Atau seseorang?”

“Seseorang.”

Kening La Husni berkerut. “Kau mencari seseorang di sini?”

Aku mendengar nada kebimbangan di suara La Husni. Adakah yang aneh dengan tujuanku? “Memangnya ada apa?”

“Yang kutahu, ada banyak sekali penduduk di sini yang kehilangan nyawa akibat letusan gunung berapi. Sebagian mati tanpa bisa dikenali lagi, sisanya bahkan ada yang hilang karena puting beliung. Jika orang yang kau cari ini mati karena terpanggang lahar panas, kurasa akan sangat sulit menemukannya. Orang yang sedang kau cari ini memangnya tinggal di daerah mana? Mungkin aku bisa membantunya.”

Aku mengangguk pelan. “Ya. Bencana ini sungguh luar biasa. Tapi seseorang yang hendak kucari bukanlah penduduk asli pulau ini.”

Wajah La Husni semakin menyiratkan kebingungan. “Lalu kau mencari siapa?”

“Aku mencari seorang pelaut sepertiku yang pernah berkunjung ke daerah sini beberapa bulang yang lalu. Lebih tepatnya, ia berkunjung ke sini sebelum Gunung Tambora meletus.”

La Husni terdiam, sementara La Fatima yang sedari tadi mengunyah ikan, kini ikut terdiam seperti suaminya.

“Sejujurnya aku tak tahu bagaimana harus membantumu,” ungkap La Husni usai diam beberapa waktu.

“Aku bisa mengerti kesulitannya. Tapi, apakah masih memungkinkan bila kita mencari tahu dari penduduk sekitar yang masih ada? Siapa tahu mereka pernah melihatnya. Atau mungkin kita bisa bertanya kepada kapal-kapal yang datang ke sini? Siapa tahu orang yang kucari memang pernah disini, lalu kemudian pergi dan bertemu dengan pelaut yang lain.”

Tatapan La Husni kepadaku tampak pesimis. “Aku tidak yakin cara itu akan berhasil, tapi kita tidak akan tahu hasilnya bila tak mencobanya, bukan?”

Aku mengangguk setuju.

“Jadi, seperti apa orang yang kau cari ini? Bagaimana perawakannya?”

“Namanya Bastian. Wajahnya tajam, dan juga bercambang. Tingginya sama denganku, mungkin hanya lebih tinggi dua hingga tiga senti. Kulitnya cokelat. Dan yang kutahu, ia mengambil rute perjalanan ke Teluk Bima, Gresik, lalu ke Batavia.”

“Apa yang ia jual di sini?”

Aku mengingat pertemuan kami ketika di Gorontalo waktu itu, tetapi aku tak mungkin mengatakan kepada La Husni bahwa Bastian berdagang emas. “Kuda dan juga damar.”

***

Saat pagi hari, langit di sekitar ceruk di Teluk Bima masih tampak suram meski keadaannya sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan cerita La Fatima waktu itu. Sinar matahari membuat lantai geladak sedikit lebih terang, tetapi panasnya tak sampai membuat air dalam tempayan berubah menjadi hangat.

Pagi itu, La Husni menitipkan istrinya kepadaku. Ia mengatakan hendak masuk ke pedalaman, mencari koloni-koloni orang yang masih hidup untuk mencari tahu keberadaan Bastian.

Sebenarnya, aku juga ingin membantunya dengan bertanya ke kapal-kapal yang singgah di Teluk Bima. Paling tidak, hal itu akan mempersingkat waktu pencarian, sehingga aku bisa segera meninggalkan wilayah ini. Namun, La Husni melarangku. Ia khawatir bila aku ikut campur, orang-orang akan mengetahui keberadaan Benoa, dan keadaannya akan menjadi lebih buruk. Seburuk apa, aku tidak tahu.

Sebenarnya, aku bahkan tak memahami maksud perkataan La Husni. Namun, mengingat bahwa aku masih menyimpan emas, aku harus berhati-hati. La Husni serta La Fatima pun tak boleh mengetahuinya. Fakta bahwa sekarang aku benar-benar seorang diri juga perlu kupertimbangkan. Karena, tidak ada lagi para awak yang bisa mengangkat senjata bila terjadi sesuatu di sini.

“Shresti!” La Fatima kemudian masuk ke dalam kabin. “Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”

Aku menoleh padanya. “Kau ingin bertanya tentang apa?”

“Soal Bastian.”

Tanpa sadar alisku terangkat karena terkejut. “Apa kau memerlukan informasi tambahan untuk mencari tahu keberadaan Bastian?”

La Fatima menggeleng. “Aku hanya ingin tahu, apakah Bastian ini keluargamu atau bukan?”

Aku tak menyukai pembahasan macam ini sebenarnya. Hanya saja, aku memang tak bisa mencegahnya untuk tidak bertanya. “Bukan.”

“Kalau begitu, dia rekanmu, ya?” La Fatima semakin mendekatiku dengan tatapan ingin tahu.

“Rekan?” Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada La Fatima, tetapi ya, saat ini situasinya memang tidak lebih dari itu. “Ya, dia rekanku.”

La Fatima menelengkan kepala dan tampak semakin penasaran. “Sebenarnya, mengapa kau mencarinya?”

Aku bergeming lama sekali sementara kalimat demi kalimat yang terlontar sewaktu aku bertengkar dengan para awak kembali mengisi kepalaku.

“Kami tidak bermaksud mencurigaimu,” kata La Fatima lagi sambil menyeringai hati-hati. “Maksudku, apakah dia melakukan kejahatan padamu sehingga kau ingin balas dendam?” Ia memperpendek jarak di antara kami.

“Tidak!” sahutku buru-buru. “Tentu tidak. Dia orang baik.” Aku menatap La Fatima lekat-lekat. “Justru aku ingin berterima kasih padanya.”

“Berterima kasih?” Wajah La Fatima tampak heran sekaligus antusias.

Aku mengangguk meyakinkannya. Selebihnya, aku menarik napas dalam-dalam dan meyakinkan diriku sendiri bahwa La Fatima hanya bertanya mengenai asal-usul yang menyebabkan aku harus berterima kasih sedemikian rupa pada seorang pria. Ketika aku berhasil menguasai diri, aku menceritakan kisah yang terjadi di Teluk Tomini beberapa bulan yang lalu.

“Jadi, Aku dan awak kapalku berhutang nyawa dengannya. Bagaimanapun, seandainya ia saat ini masih di sini dan memerlukan bantuan, aku tetap wajib membayar hutangku kepadanya,” kataku menutup cerita.

Wajah La Fatima kemudian tampak seperti berpikir. Entah apa yang ada dalam benaknya, tetapi aku hanya berharap ia tak bertanya lebih.

“Jika kau dan awak kapalmu berhutang nyawa kepada Bastian, mengapa hanya kau saja yang bertahan di sini sedangkan mereka memilih untuk pergi?”

Aku sekonyong-konyong teringat bahwa La Fatima dan suaminya waktu itu mendengarkan pertengkaran kami di antara ilalang. Dan dalam pertengkaran kami, sama sekali tidak membahas soal Bastian ataupun ucapan terima kasih.

Sekalipun memang saat ini aku ingin berterima kasih kepada Bastian jika nanti bertemu dengannya, tetapi alasan ini ada setelah pertengkaran antara aku dan para awak terjadi.

Bahkan lebih tepatnya setelah aku mengetahui pengkhianat yang sesungguhnya!

Sebelumnya, alasanku bertahan untuk singgah di sini lebih lama karena aku harus bertemu dengan Bastian untuk memastikan bahwa dia adalah seorang pengkhianat.

Yang kenyataannya justru bukan Bastian pengkhianatnya.

Dan kenyataan lainnya, aku bahkan tak bisa kembali ke Makassar untuk jangka waktu yang mungkin cukup lama karena ancaman Ali Muffakat. Aku bertahan di sini pun juga untuk melupakan semua pertengkaranku dengan para awak.

Sial!

“Karena para awak juga memiliki keluarga. Mereka tak mungkin bertahan di sini untuk sesuatu yang mungkin sia-sia.” Kuharap ini adalah penjelasan yang masuk akal dan cukup untuk membuat La Fatima tidak bertanya lagi.

“Jadi benar kau tak memiliki keluarga, Shresti?”

Aku menahan diri untuk mendesah. Mungkin wanita ini benar-benar sudah mendengar semua isi pertengkaranku dengan para awak, lalu menyimpan fakta-fakta itu di otaknya, lalu berniat mencari tahu kebenarannya kemudian.

Aku menatap La Fatima, melihat jauh ke dalam matanya. Semakin lama aku menatapnya, aku seakan memperoleh informasi bahwa wanita ini sepertinya hanya ingin tahu, yang didorong oleh perasaan prihatin. Tidak lebih.

“Ya. Semua yang kau dengar dalam pertengkarangku dengan para awak waktu itu adalah benar.”

La Fatima tak segera menanggapi. Ia balik menatap wajahku, kemudian tatapannya menerawang. “Jadi, kau adalah seorang pelaut sekaligus pedagang yang memiliki empat awak kapal, yang berlayar ke Teluk Bima untuk berdagang, yang jika memungkinkan juga ingin bertemu dengan seseorang bernama Bastian untuk mengucapkan terima kasih. Namun, karena kondisi alam di sini sama sekali tak mengizinkan tujuanmu tercapai, maka hanya kau yang bertahan sementara awak kapalmu yang memiliki keluarga terpaksa harus mengurusi keluarga mereka. Begitukah intinya?”

Aku tak mengerti mengapa informasi semacam ini penting bagi La Fatima. “Ya, kurang lebih memang seperti itu.”

Ia kemudian bersedekap lalu mengangguk-angguk sambil menatapku. “Maaf Shresti, aku hanya ingin mencoba mengerti situasimu.”

***

Menjelang petang, La Husni kembali ke Benoa. Wajahnya semringah, tetapi aku melihat ada garis-garis kekhawatiran di keningnya. Aku menahan lidahku untuk bertanya, sementara istrinya justru menyambutnya dengan antusias, seolah tak melihat kekhawatiran suaminya.

Aku lantas membiarkan mereka berdua berbincang-bincang, sementara aku menyiapkan teripang untuk makan malam kami.

“Sepertinya, gelombang bencana yang lain akan segera menyusul.” La Husni menyeletuk di sela-sela makan malam kami.

Lihat selengkapnya