Apakah Bastian ini seseorang yang berharga di hatimu, Shresti?
Apakah Bastian berharga di hatimu?
Karena aku memang pernah mencintainya, sudah pasti dia adalah orang yang berharga. Masalahnya, saat ini situasinya sudah terlampau rumit. Melihat diriku yang sekarang dengan berbagai persoalan, aku sendiri pun jadi meragukan perasaan dan keputusan hatiku.
Selama ini, aku bahkan tidak pernah berusaha mencari tahu jawabannya sekalipun aku pernah mempertanyakan hal itu pada diriku sendiri. Aku selalu menekankan bahwa sejak semula, aku sudah membatasi diri untuk tidak mencintai seorang pria. Dan batasan itu kubuat karena identitasku sebagai Elias. Karena orang-orang di Makassar, Gorontalo, Ambon, Bali, Australia pun sudah banyak yang mengenalku dengan nama itu.
“Mungkin,” jawabku singkat.
“Tapi dari sikapmu, menurutku Bastian adalah seseorang yang berharga bagimu, Shresti.” La Fatima tiba-tiba menyeletuk.
Sekali lagi aku menoleh kepadanya, tetapi kemudian pandanganku kembali ke depan. Membiarkan angin membawa pergi pertanyaan-pertanyaan itu.
“Bagaimana mungkin kau berkata seperti itu, La Fatima?”
Dari sudut mata, aku melihat wanita itu mengelus-elus perutnya. “Karena berterima kasih itu biasanya cukup dengan kata-kata. Jika disertai dengan sebuah tindakan, apalagi membutuhkan pengorbanan yang besar, biasanya karena sesuatu itu begitu berharga.”
“Sekalipun yang kau katakan itu benar, lebih baik dia tidak mencintaiku, La Fatima.”
“Kenapa?”
Aku menoleh hendak menjawab pertanyaannya, tetapi kata-kata itu seperti tersangkut di lidah. Akhirnya aku bergeming cukup lama.
“Apakah kita bisa melanjutkan pencarian mata airnya?” Pertanyaan La Fatima seolah memanggil pikiranku yang tersesat.
Aku tahu, pertanyaan kali ini ia tujukan hanya untukku, tidak termasuk dirinya. Sebab, kondisi La Fatima terlihat sangat lelah. Dengan mempertimbangkan banyak hal, aku lantas memintanya menunggu di dekat batu besar, sementara aku pergi mencari air. Untung saja ia tidak keras kepala untuk tetap ikut denganku.
“Jika kau berkeras melanjutkan pencarian seorang diri, setidaknya mau membawa ini, Shresti.” La Fatima merogoh lipatan kain di bajunya, kemudian menjatuhkan seutas tali tipis ke telapak tanganku.
“Ini untuk apa?”
“Ujungnya ini bisa kau ikat ke batang pohon yang ini!” La Fatima menunjuk batang pohon yang ramping yang ada di sampingnya. “Ujungnya yang lain, kau ikatkan ke tubuhmu. Jadi, aku tahu di mana harus menyusulmu jika terjadi sesuatu. Bisa juga sebaliknya.”
Aku mengangguk, lalu mengikuti nasihatnya. Setelahnya, aku berjalan menjauh darinya untuk mencari sumber mata air.
“Di sini pasti belum ada mata air,” gumamku setelah menyibak dedaunan dan ranting-ranting pohon.
Aku sama sekali tak menghitung berapa langkah sudah kutempuh, tetapi saat aku menoleh ke belakang, aku tidak lagi melihat La Fatima yang duduk di atas batu besar. Untung saja ia memberiku tali yang ternyata amat sangat panjang. Sehingga, aku tak mungkin tersesat. Lantas aku menggerak-gerakkan tali itu. Dan aku terkejut ketika tali itu juga bergerak-gerak seperti merespons.
“Di sini juga tidak ada,” gumamku lagi. Aku juga mengingatkan diri sendiri untuk menarik-narik talinya agar La Fatima tidak merasa sendirian.
Sayangnya, ketika tali itu sudah tidak bisa kutarik lebih jauh ke arah vertikal masuk lebih dalam ke hutan, dan aku juga sudah berjalan menyusuri arah horizontal sisi kiri, sumber mata air itu juga tak bisa kutemukan.
Sepanjang jalan yang kutapaki, aku hanya menemukan timbunan abu, daun-daun, batang-batang, ranting-ranting pohon, bangkai-bangkai hewan, kubangan air, yang semuanya terbalut timbunan abu.
“Di sini pun tak ada air!” ucapku dengan rahang mengeras.
Aku kemudian melanjutkan penyusuran secara horizontal ke sisi kanan. Dari kejauhan, aku melihat pohon-pohon yang ada di ujung sebelah sana semakin jarang. Sejauh ini, bau bangkai pun sedikit memudar.
Mungkin di sana ada sumber mata air! Harapanku mulai membubung.
Dengan langkah yang mantap, aku mendekati wilayah itu. Setibanya di sana, aku melihat memang di sekitar sini, tidak ada bangkai hewan. Jarak antar pohon yang satu dengan yang lainnya pun agak jauh. Jadi, jika aku menengadah, aku bisa melihat langit tanpa terhalang dedaunan. Namun, tanahnya tetap saja tidak terlihat. Abu di sini rupanya sudah menyelimuti seluruh tanah.
“Tidak mungkin ada air!” kataku menyesal. Sambil terengah, aku merasa sudah kehabisan tenaga untuk menemukan sumber air.
Aku kemudian menyandarkan punggung di batang pohon yang cukup besar. Saking lelahnya, aku membiarkan tubuhku melorot secara perlahan.
Hingga akhirnya aku berjongkok, lalu mendengar suara napasku, sekaligus detak jantungku sendiri.
Dan aku mulai memikirkan diriku.
Bastian bukanlah seorang pengkhianat.
Dan jika kau harus mengatakannya, Bastian memang berharga di hatiku. Bahkan menjadi semakin berharga saat aku akhirnya mengetahui bahwa ia bukanlah pengkhianat.
Namun kenyataannya, aku tetap saja tidak bisa dengan mudah mengakui bahwa aku mencintai pria itu. Sebab, perasaanku sama sudah sekali tidak ada gunanya untuk saat ini.
Jika suatu saat nanti kami bertemu, aku akan datang kepadanya dalam wujud Shresti. Dan itu pasti membuatnya bertanya-tanya, sementara aku tidak bisa lari dari kenyataan karena Elias memang sudah tidak ada lagi.
Keempat awak kapalku pun sudah tidak ada. Mereka sudah meninggalkanku dengan kembali ke Makassar, dan ada yang ke Gresik.
Di Makassar, nama baikku sudah tercoreng. Belum lagi bila Ali Muffakat sudah bertindak lebih jauh dari yang bisa kuprediksi. Entah sejauh apa, tetapi bila ia sampai benar-benar membongkar identitas asliku, lalu membongkar aktivitas penjualan candu serta emas milikku, jelas aku akan menjadi incaran pejabat kolonial yang bernafsu memberantas perdagangan ilegal‒yang meskipun diam-diam, sebenarnya mereka juga terlibat dalam kegiatan ilegal itu.
Reputasiku sudah benar-benar hancur. Lebih lagi, mereka akan mengenaliku sebagai seorang penipu.
Pria mana yang mau memberikan hatinya kepada seorang wanita penipu dan memiliki reputasi buruk serta kehidupan yang keras sepertiku?
Tanpa sadar, tanganku mengeruk lapisan abu yang masih lembab. Mengepalkannya dalam genggaman tanganku, lalu kulemparkan bola-bola itu ke batang pohon yang lain.
“Semua ini terjadi gara-gara Dabir!” Belum puas dengan lemparan pertama, aku kembali mengeruk lapisan abu, kemudian melemparkannya lagi.
“Jika saja ia tidak berkhianat, semua ini tak perlu terjadi!” Aku kembali melempar abu itu beberapa kali. “Aku tak perlu kabur dari ancaman, aku tak perlu menuduh Bastian, aku tak perlu bertengkar dengan awak yang lain, mereka pun tak perlu menghakimiku seolah-olah aku ini penjahat, dan mereka tak perlu meninggalkanku!”
Aku merasakan air mata membasahi pipiku. “Dan … semua kekacauan ini juga akibat dari kesalahkanku! Aku benci semuanya! Aku benci diriku sendiri!” Aku mengeruk semakin banyak, lalu melemparkan bola-bola itu sekuat tenaga.
Dua kali …
Empat kali …
Lubang di depanku semakin kugali lebih dalam. Kini aku mengeruk abu itu dengan kedua tangan, lalu melemparkannya ke batang pohon.
Napasku semakin terengah-engah, tetapi aku belum puas.
Aku menggali lagi lebih dalam, dan jari-jariku kini menemukan lapisan tanah.
Dengan satu tangan, aku menyeka keringat, lalu aku berusaha menggali tanah itu semakin dalam. Mengepalkannya, lalu melemparkan campuran abu dan tanah itu ke batang pohon yang ada di depanku.
Napasku semakin memburu, tetapi aku belum mau berhenti. Aku berniat memperbesar lubang yang kugali. Namun, aku membutuhkan sesuatu.
Aku mengangkat wajah, dan memindai sekeliling, siapa tahu menemukan sesuatu yang bisa kupakai untuk menggali tanah.
Beruntung aku menemukan bebatuan yang bentuknya seperti lempeng.
Batuan itu segera kupakai untuk mencungkil tanah. Membuat pekerjaanku menjadi lebih cepat, lebih efektif.
Semakin lebar lubang yang kugali, semakin dalam pula rongga yang dihasilkan. Dan itu terus kulakukan, hingga aku memperoleh kepuasan.
Hingga aku merasa lelah.
Hingga keringatku bercucuran.
Dan akhirnya aku tertunduk. Membiarkan dahiku menyentuh lapisan abu yang paling atas, sementara kedua tanganku yang lunglai, masuk ke dalam lubang dan menggantung.