“Kenapa suamiku belum kembali?” gumam La Fatima lesu. “Apakah ia akan kembali, Shresti?”
Aku mengangkat kedua bahu. “Percaya saja ia pasti kembali.”
“Tapi mengapa sampai selama ini? Malam sudah amat larut!”
“Lebih baik kita beristirahat dulu barang sejenak.”
“Tapi bagaimana aku bisa memejamkan mata jika suamiku belum kembali?”
Aku menahan diri untuk mendesah. “Lebih baik kau mencobanya dulu sebelum mengatakannya, La Fatima.”
Aku tidak tahu apa yang dilakukan La Fatima setelahnya, yang jelas aku tertidur Selama beberapa waktu. Yang membuatku terbangun adalah suara benturan di salah satu sisi kapal.
“Suara apa itu?” tanyaku pada La Fatima.
La Fatima menggeleng ketakutan sambil memeluk lengannya.
Kami berdua kemudian mendengar suara grasah-grusuh di bagian buritan yang dekat dengan kabin.
La Fatima berdiri. “Suamiku kah itu?”
Aku melentingkan bahu, sembari menahan La Fatima agar tidak buru-buru menyambut. Usai memastikan bahwa yang datang adalah La Husni, baru aku mengizinkan wanita itu menemui suaminya.
“Kau pulang saat hari hampir pagi!” ujar La Fatima pada suaminya.
“Maafkan aku,” ungkap La Husni sambil meletakkan barang bawaannya. “Ini aku membawakan sesuatu untuk kita semua.”
La Fatima sedikit menunduk untuk melihat barang bawaan suaminya. “Kau membawa enam butir kelapa!”
La Husni memandang istrinya dengan penuh kepuasan. “Ya. Ini kubeli menggunakan koin-koin yang kemarin kutemukan itu. Sayangnya, uang itu hanya bisa membeli enam butir.”
“Itu sudah bagus!” Aku menyeletuk seraya menyusul suami istri itu di geladak. Dalam hati aku pun ikut senang karena akhirnya bisa berhenti minum arak. Paling tidak, pikiranku bisa berpikir lebih jernih selama ada air kelapa.
La Husni hanya menatapku sekilas sambil melemparkan senyum. Ia lalu menyusun kelapa-kelapa itu di geladak. “Saat pagi nanti kita nikmati ini bersama-sama.”
Setelahnya, tatapan La Husni jatuh kepadaku.
“Soal temanmu itu. Salah satu awak kapal dagang yang kutemui petang tadi, mengakui bahwa ia mengenal seorang saudagar bernama Bastian. Komoditi dagang yang ia sebutkan pun sesuai dengan yang pernah kau katakan waktu itu. Mendekati akhir tahun, mereka bahkan sudah berjanji untuk bertemu lagi di Batavia.”
“Jadi ada kemungkinan dia masih di sini?” sahutku cepat.
La Husni tampak berpikir. “Itu masih perlu digali lagi. Maaf, hari ini aku tak bisa terlalu banyak bertanya, karena mereka pun terlihat tidak begitu menyukai pertanyaan-pertanyaan yang jelas tidak mendatangkan keuntungan buat mereka.”
Aku meresponsnya hanya dengan anggukkan kepala. Namun setelahnya, aku meninggalkan mereka berdua untuk beristirahat.
***
“Sebenarnya, apa yang membuatmu pulang hingga nyaris fajar?” tanya La Fatima beberapa jam kemudian.
“Karena aku melakukan semuanya dengan diam-diam. Aku tidak bisa serta-merta seperti orang lain yang langsung mendatangai kapal dagang itu lalu membeli sesuatu. Tidak. Aku tidak bisa demikian. Sepanjang siang, aku hanya mengamati dari jauh. Ketika hari sudah mulai gelap dan kapal itu tidak lagi dikerumuni oleh penduduk setempat, baru aku bisa mendekati kapal itu.
“Setelahnya, kau lihat sendiri, membawa enam butir kepala seorang diri tanpa diikuti pun menjadi tantangan tersendiri. Aku harus berjalan kaki dengan cepat, tetapi juga harus hati-hati. Salah-salah, pemuda-pemuda yang kelaparan bisa mengikutiku sampai ke sini, dan … itu akan sangat berbahaya untuk kita.”
La Fatima mengangguk, sementara aku menggerakkan bibir dengan maksud mengucapkan terima kasih pada La Husni.
“Kemarin, aku belajar bahwa manusia rupanya dapat mengorbankan apa pun di saat mereka terhimpit,” kata La Husni lagi ketika kami sedang mengupas kelapa masing-masing untuk kami bertiga.
“Apa maksudmu?” sahutku langsung.
“Dulu, dua atau tiga keping koin saja sudah bisa membeli satu buah kelapa. Atau jika memiliki pohonnya, kau bahkan hanya cukup memanjatnya. Tapi sejak Gunung Tambora meletus, koin dalam satu pundi-pundi pun hanya bisa membeli enam.”
“Aku tidak kaget,” sahutku sambil membantu La Husni membuka batok kelapa.
“Tapi apakah kau menduga jika mereka yang tak lagi memiliki uang untuk membeli bahan makanan, terpaksa menyerahkan anggota keluarganya agar bisa makan?”
Parang yang ada di tanganku langsung terjatuh. “Mereka dijual untuk menjadi budak?”
La Husni mengangguk. “Ayah menjual anak gadisnya. Ibu menyerahkan anaknya. Anak menyerahkan saudaranya … semuanya hanya supaya bisa tetap hidup.”
Setelahnya, suasana menjadi sangat sunyi. Kami menikmati kelapa dalam keheningan. Aku pun menggunakan waktu sunyi itu untuk merenung.
Apakah tindakanku sejauh ini juga terhitung sebagai “mengorbankan segala sesuatu” hanya untuk kepentinganku sendiri?
Aku mengingat lagi kebersamaanku dengan para awak ketika kami mempertahankan Benoa dari amukan gelombang laut. Saat-saat di mana suaraku habis karena meneriakkan perintah agar kapalnya tidak terguling. Waktu di saat kami membahas soal Bastian, dalam dalam perjalanan ke Teluk Bima. Waktu kami saling melemparkan pendapat, lalu bertengkar, yang kemudian membuat kami berpisah …. Benarkah saat itu aku sedang berkorban untuk awak kapalku? Atau mungkinkah saat itu aku justru sedang mengorbankan mereka?
Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaanku itu. Namun, aku berusaha tidak menyesalinya sekalipun ternyata pilihan yang kuambil menjadikanku wanita paling tidak beradap.
Juga terhadap sepasang suami istri ini.
Jika aku mengingat usaha La Husni dalam mencari informasi mengenai Bastian, semua usaha-usahanya itu seolah memaksaku untuk segera meninggalkan pulau ini. Cukuplah diriku mengetahui bukan Bastian yang menjadi pengkhianat. Cukuplah diriku hanya dengan mendengar bahwa Bastian memiliki janji di Batavia saat akhir tahun nanti. Cukuplah diriku menikmati hasil keringat La Husni demi kepentinganku.
Namun, bagaimana cara menyampaikan niatku ini kepada mereka? Seperti waktu yang lalu, La Husni pernah mengatakan ia masih ingin berusaha selagi ada kesempatan. Seandainya kami benar-benar pergi dari sini pun, ke mana aku harus membawa mereka?
Sejak awal, aku juga sama sekali tak berniat untuk mengambil keuntungan dari mereka. Namun seiring dengan berjalannya waktu, usaha mereka untuk berterima kasih padaku jauh melebihi apa yang telah kuberikan untuk mereka.
Aku pun bisa melihat bahwa mereka berdua bisa saling memikirkan satu dengan yang lain. Bagaimana denganku? Sesuatu yang sedang kulakukan ini, apakah memang karena aku memikirkan serta peduli dengan orang itu, atau sekadar keegoisanku?
Pertanyaan-pertanyaan itu membawa pikiranku untuk mengingat kembali pertengkaranku dengan para awak di waktu yang lalu.
Memang tidak ada yang bisa dipersalahkan. Namun, satu-satunya alasan yang sedang kucoba pahami adalah: mereka juga sedang memikirkan dan sedang memedulikan keluarga mereka masing-masing.
***
La Husni sedang mencium La Fatima saat tanpa sengaja aku menemukan mereka di salah satu sudut Benoa. Wajah mereka tampak bahagia. Walau jika dilihat dari sisiku, keadaan mereka cukup memprihatinkan di tengah situasi seperti ini. Mungkin karena kekuatan cinta, atau hal lain sehingga mereka bisa tetap bahagia, aku tidak tahu. Yang pasti, selama mereka tidak berbuat jahat padaku, itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak akan mengganggu mereka.
Menyadari kehadiranku, La Husni buru-buru menjauh dari istrinya. Ia melompat ke luar kapal, lalu menghilang entah ke mana.
Aku bergerak mendekati La Fatima.