Malamnya, aku memikirkan percakapanku dengan La Fatima. Karena kemarahan sekaligus kebencianku pada Dabir termasuk juga kepada Tinro, Gau, serta Boro, aku sama sekali tak memikirkan bagaimana seandainya Ali Muffakat benar-benar membongkar identitas asliku ke seluruh pelaut di Makassar. Tidakkah mereka juga akan terkena imbasnya? Lalu, imbas macam apa yang akan mereka terima?
Sebagian dari hatiku seakan mengatakan bahwa aku tak seharusnya memedulikan keadaan Dabir‒dan juga yang lain, yang meskipun mereka tidak berkhianat, tetapi mereka ikut menghakimiku semena-mena lalu meninggalkanku. Namun jika aku tetap acuh tak acuh dengan keadaan mereka, aku justru merasa terganggu. Dan entah mengapa, perasaan bersalah yang seperti itu rasanya tak asing buatku.
Aku lantas termenung. Sekadar berkhayal, seandainya Dabir dan yang lain tak lagi dapat mencari nafkah karena orang-orang di sana mengolok-olok mereka sebagai pria tua bodoh yang bisa dengan mudahnya tertipu oleh wanita muda sepertiku. Atau lebih ekstrem lagi, istri-istri mereka mungkin juga akan menuduh mereka telah menipu keluarga dan lain-lain, dan lain-lain.
dan lain-lain ini yang tidak lagi bisa diprediksi, tetapi kondisi keluarganya pasti akan goncang. Minimal, muncul konflik kecil antara mereka dan para istri.
Membayangkan orang yang pernah menjadi satu rekan dalam mencari nafkah sedang dirundung masalah, membuatku tiba-tiba merasa iba dengannya. Bagimanapun, Dabir, Tinro, Gau, dan Boro pernah melakukan hal-hal baik terhadapku. Jika bukan karena mereka, kondisi Benoa tidak mungkin bisa berlayar lagi seperti sedia kala, usai dihantam gelombang air yang tinggi. Jika mereka tidak sigap mencari informasi, aku tidak mungkin bisa memperoleh keuntungan luar biasa dari penjualan emas dan juga candu. Jika bukan karena para awak tak mengangkat senjata ketika kami diserang bajak laut, aku pasti sudah mati.
Namun, apakah hanya karena perbuatan baiknya itu, aku wajib mengampuni mereka?
“Shresti!” Suara La Fatima kemudian memecahkan konsentrasiku. Setelah mendengar suaranya, kemudian aku melihat wajahnya melongok ke dalam kabin. Wajahnya menyiratkan kegusaran.
“Ada apa?” tanyaku heran.
“Kenapa suamiku belum juga kembali?”
“Kau bertanya pada orang yang salah.”
“Lalu aku harus bertanya kepada siapa?”
“Tidak kepada siapa pun.” Aku lalu mendesah pelan. “Aku mengerti kau khawatir. Tapi, kekhawatiranmu itu tidak ada gunanya. Lebih baik kau beristirahat.”
“Bagaimana mataku dapat tertutup jika suamiku belum kembali?”
Aku melentingkan bahu tanpa menjawab.
***
Aku baru saja terbangun karena suara langkah kaki, yang ternyata adalah langkah kaki La Fatima di geladak. Aku tidak tahu pukul berapa saat ini. Namun yang jelas, langit masih gelap gulita.
“Kau tidak tidur?” tanyaku sedikit kesal.
Kepalaku semakin terasa pusing karena kami baru makan sekali hari ini‒tepatnya beberapa jam yang lalu. Tatapanku kemudian beralih ke piring yang berisi segenggam nasi yang tadi kami sisihkan untuk La Husni.
“Dia belum kembali?” tanyaku seraya mengurut kening.
La Fatima hanya menggeleng. Ia lalu duduk berselonjor di salah satu sisi geladak.
“Aku khawatir terjadi apa-apa dengannya.” La Fatima kemudian mendesah dengan mata berkaca-kaca. “Seharusnya tidak seperti ini.”
Aku tak sanggup menjawab apa-apa. Yang bisa kulakukan hanya duduk di sebelahnya, dan tetap diam.
Situasi setelahnya menjadi sunyi. Namun tak lama setelahnya, aku justru mendengar La Fatima terisak. Yang setelah kudiamkan beberapa saat, berubah menjadi tangisan.
“Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan suamiku, Shresti?”
Aku menoleh dan hanya menatapnya.
“Bagaimana jika dia tidak kembali kepadaku?”
Tangisannya lalu semakin keras.
“Kita tunggu dulu hingga besok pagi.”
La Fatima menoleh. Ia hanya menatapku dengan mata sayu. Tatapannya kemudian menerawang, sebelum akhirnya ia kembali menatap ke depan. Seolah-olah kata-kataku tadi hanya angin lewat yang tak bermakna.
Kami akhirnya sama-sama menatap langit. Sementara aku bergelut dengan pusingnya kepala, La Fatima masih tersedu-sedu.
“Aku mencintainya, Shresti. Aku mencintainya,” gumam La Fatima.
Aku pun mengangguk.
“Bagaimana jika orang yang kucintai pergi tanpa kembali?”
Aku kembali mengingat pertemuanku dengan Bastian di perairan Teluk Tomini. Hari itu, aku tahu diriku mencintainya. Namun, aku langsung mengubur perasaanku dalam-dalam karena saat itu, yang aku tahu, aku masih harus menjalani hidup sebagai Elias.
Walau saat itu aku merasa sakit karena menahan semua perasaanku, tetapi pada akhirnya aku bisa kembali beraktivitas tanpa terus teringat akan sosoknya yang angkuh sekaligus menawan itu. Jika saja aku tidak bermimpi tentang bernga, aku mungkin benar-benar bisa melupakan perasaanku sekalipun tak bisa melupakan wajah sekaligus sosoknya.
“Tapi, bagaimana jika ia nanti kembali, La Fatima? Apakah kau mau menyambutnya dengan keadaan seperti ini?” balasku.
La Fatima kemudian tertunduk melihat keadaannya. “Aku …”
Ia tak melanjutkan kalimatnya.
Lama kami termenung, sampai sebelah bahuku terasa pagal karena dipinjam oleh La Fatima sebagai tumpuan kepalanya.
Langit yang gelap itu pun mulai berhiaskan semburat warna fajar. Namun sebaliknya, pikiranku mulai diwarnai kekhawatiran.
Aku tak tau apa yang harus kami makan untuk hari ini. Beras sudah tidak ada. Persediaan air hujan juga terus berkurang. Yang ada padaku hanya tinggal emas, porselen, kain sutra, dan … aku teringat jika di kabin masih ada persediaan serbuk-sebuk tanaman obat yang kuperoleh dari para pedagang Cina. Hanya saja, serbuk-serbuk itu tak seberapa banyak. Tidak memungkinkan untuk dimakan untuk‒setidaknya mengisi perut.
La Husni, di mana kau? Tanyaku dalam hati.
Saat langit semakin berwarna, aku membiarkan La Fatima tidur. Sementara diriku sendiri harus mulai menyiapkan banyak hal.
Seandainya saja La Husni benar-benar tidak kembali, aku harus segera ke luar dari wilayah ini bersama dengan La Fatima. Aku harus segera berlayar ke … jika memanfaatkan angin, maka berlayar yang paling memungkinkan adalah ke arah barat.
Dan wilayah terdekatnya adalah Lombok atau Bali.
Aku menarik napas dalam-dalam ketika memikirkan kemungkinan itu. Masa kecilku dulu ketika harus berlayar seorang diri setelah beberapa kali belajar bersama Palalo seakan terulang kembali.
Aku mulai memasang layar lalu menyiapkan kemudinya.
Di saat seperti inilah, hatiku terasa perih. Walau sejak kecil aku biasa melakukan segala sesuatu seorang diri, tetapi sejak memiliki awak, merekalah yang melakukannya untukku. Biasanya, kami melakukan berbagai persiapan sambil bercakap-cakap membicarakan sesuatu.
Aku selalu menikmati waktu-waktu itu. Dari sana jugalah aku memperoleh banyak pengetahuan. Dabir, Boro, Gau, Tinro, mereka semua selalu saja membicarakan pelajaran hidup, yang sedikit-sedikit membuatku mulai memikirkan tentang alam. Memikirkan kehidupan. Memikirkan masa depan. Bahkan memikirkan hal-hal kecil yang belum pernah kudengar dari Christian maupun Palalo.
“Kau sedang apa, Shresti?”
Ketika aku menoleh ke arah suara, La Fatima sudah berdiri di belakangku dengan wajah bingung sekaligus bertanya-tanya.
“Apa yang sedang kau lakukan, Shresti?” tatapan La Fatima kemudian mengarah ke layar yang walau belum kukembangkan, tetapi sudah terpasang di tiangnya.
Aku mengerjap, dan seketika kehilangan kata-kata karena pertanyaan itu mengagetkanku.
“Aku … kau jangan salah sangka dulu, La Fatima!”